Sunday 6 January 2013

CERPEN


1.

Kisah Seruas Jalan

Cerpen Indrian Koto & Sunlie Thomas Alexander (Suara Merdeka, 1 Mei 2011)
Jalan Pembuka
BEGINI mula-mula, kami sering berebutan jika bicara masa lalu yang lekang di ingatan. Mulai dari jenis mainan, kebiasaan ketika pulang sekolah, buku yang kami baca, hingga jalan-jalan yang menempel di kepala. Meski kami tinggal tidak satu kota, usia yang relatif berbeda dan memiliki perbedaan latar budaya, kami merasa sepakat, ada banyak persamaan di antara kami menghabiskan waktu pada masa kecil.
Setiap kali membicarakan masa lalu, kami seperti sedang reuni, seolah lawan dan teman main. Kami merasa sama-sama mengumpulkan kertas rokok, lidi korek api, dan memainkan gambar umbul. Rasanya kami teman yang sama ketika bergerombol di rumah tetangga menonton televisi. Kami seperti kawan seperjalanan yang berombongan naik sepeda di sore hari atau pada hari Minggu yang cerah. Menjelajahi jalan-jalan bersimpang hingga jalan-jalan tikus dan merasa kami adalah penakluk dunia.
Entah siapa di antara kami yang punya ide mengenai ini. Kami menuliskan bagian-bagian yang lekat di ingatan dan di mulai dari jalan. Dengan begitu, kami merasa akan mendapat porsi yang sama dalam bercerita. Dimulai dari jalan-jalan yang lekat di ingatan, siapa tahu, kelak kami akan sampai pada cerita-cerita yang lain pula.
Belinyu, Jalan-jalan yang Menyesatkan Ingatan
DI kota kecil kami, ada seruas jalan yang paling aku sukai layaknya jalan Parangtritis di Jogja dan Braga di Bandung. Jalan Depati Amir, begitulah ruas jalan itu diabadikan dengan nama seorang pahlawan pulau kecil kami—setelah entah berapa kali bersalin nama. Terbentang ia dari Rumah Sakit Timah hingga ke lapangan tenis dan tangsi. Sementara cabang-cabang jalannya dinamakan pula dengan nama tiga demangnya yang tak kalah kesohor: Demang Singayudha, Demang Batin Tikal dan Demang Suramenggala.
Namun tetap saja orang-orang Tionghoa lebih suka menyebut jalan-jalan di kawasan ini sebagai Holland Kai, Jalan Belanda. Tentu lantaran di sana berdiri rumah-rumah berarsitektur Belanda peninggalan para pegawai timah di jaman kolonial. Pada masa kejayaan penambangan pada 70-an hingga 80-an, rumah-rumah di ketiga ruas jalan ini dihuni oleh para pejabat perusahaan timah setingkat kepala wilayah produksi dan para kepala biro. Dulu jalannya paling lebar di kota kecil kami, mulus tanpa lubang. Dan di malam hari, dominasi cat warna putih dengan tiang-tiang lampu neon membuat kawasan ini terang benderang.
Tak pelak, sejenak aku pun merasa sedang menyusuri sebuah jalan di Eropa. Atau bila pikiranku sedikit liar, terkenanglah aku pada jalan-jalan di St Petersburg, kota khayalan di tepian Misouri dalam cerita petualangan Tom Sawyer dan Huck Finn karya Mark Twain—yang pada kemudian hari kutahu terinspirasi pada kota kelahiran pengarangnya sendiri yang bernama Hannibal! Ah, kota yang konon bermula dari gempa bumi dan seorang salesman yang bicaranya halus…. Mengantuk di bawah sinar matahari pagi pada musim panas, kata Twain. Membuat anganku terus membumbung, melambung. Demikian sore-sore aku gemar bersepeda sendirian melintas di ruas jalan itu, lantas berbelok ke Jalan Balar, terkadang masuk sampai ke kampung Wasre sembari terus membangun jalan-jalan khayalku sendiri.
Sementara di sudut lain kotaku, Jalan Ali Seng yang dipenuhi jajanan—dari martabak, bakso, manisan, es kelapa muda, sampai kembang tahu dan berderet warung mi yang mengundang lapar—kerap pula kuamsal sebagai jalanan Kota Shanghai yang eksotik pada awal abad 20 sebagaimana dalam sebuah drama mandarin. Di ruas jalan inilah, pada malam hari pusat kota kecil kami berpindah dari pasar. Wajar, sebab di jalan ini tegak gedung Bioskop Gelora yang gemar memutar film-film lokal dan India. Dan tepat di seberang jalan, nyaris berpunggung Bioskop Belia yang lebih suka menayangkan film kungfu dan Hollywood. Sampai tahun sembilan puluhan, krismon melanda, Belia bangkrut lebih dulu dan menjelma tempat biliar. Gelora nasibnya tak lebih baik: dijadikan sarang walet!
Entahlah apakah kota kelahiranku ini berkembang ke arah yang benar. Sebab kini setiap pulang, aku seakan tenggelam di antara amnesia dan arus kenangan. Ada banyak hal yang hilang dan berubah, tetapi banyak pula sisi yang bertahan. Toko-toko baru terus bermekaran di banyak ruas jalan, gedung-gedung walet tumbuh menjulang di setiap sudut kota. Tapi satu-dua ruko tua masih bertahan dalam keasingan, dan tersisa juga rumah-rumah papan yang berdiri dalam kemuraman. Ai, seolah kota Key West yang dihidupkan segenap cinta Hemingway dalam novel To Have and Have Not: Rumah-rumah kayu berhalaman sempit, cahaya yang masuk dari daun jendela, rumah-rumah siput, semua berlabur, tertutup rapat, kebajikan, kegagalan, ketabahan, dan gerutu yang meluap-luap, kekurangan pangan, prasangka, keadilan, kenyamanan beragama dan antarsuku….
Toh, kadang-kadang lanskap masa lalu itu—Jalan Sriwijaya yang dipenuhi ruko-ruko kayu merapuh oleh waktu-hadir lagi di pelupuk mataku bersama orang-orang yang bergerombol pergi ke bioskop di bawah cahaya lampu jalan yang dibangun perusahaan timah. Dengan toko elektronik, lima buah toko kelontong, dua toko jahit, tiga warung kecil dengan toples permen tersusun di meja panjangnya, seorang tukang cukur, dua kedai kopi dan sebuah toko obat merangkap optik, toko alat-alat tulis, dan sebuah bengkel sepeda dengan tempat biliar di lantai tiga.
Oh, Sungguhlah benar Michael Pearson dalam catatan perjalanannya, Imagined Placed: bahwasanya jalan lebih terikat dalam waktu daripada ruang! Karena begitulah jalan-jalan pada masa kanak-kanak itu awet dalam ingatanku. Separoh menghantui.
Setiap tahun aku memang selalu pulang, begitu juga setelah aku menikah. Tentu, karena ibuku yang sudah tua—sekarang hidup dengan seorang paman di ruko peninggalan kakek selepas ayahku wafat—perlu dijengguk. Biasanya dua sampai tiga minggu aku di rumah, kadang bisa sebulan. Kadangkala aku mengajak isteriku makan bakso di Jalan Mayor Safrie Rachman, atau belanja ke pasar baru melewati sebuah jalan baru yang memotong bukit karet—ya, bukit angker pada masa kanak-kanakku. Atau sesekali kami mengunjungi satu-dua kawan lama yang masih bertahan di kota kelahiran ini. Sebagian besar dari mereka, telah membangun jalan nasibnya masingmasing; ah, berserak di jalan-jalan berbagai kota rantau!
Bulai misalnya, kawanku yang dulu mengenalkan kami pada banyak jalan rahasia, sekarang menjadi seorang guide di Bali, memandu turis-turis ke segala pelosok Pulau Dewata. Kami bertemu di facebook setelah belasan tahun tak berkabar. “Aku sudah hampir keliling Indonesia,” katanya bangga dan mengaku sudah menghafal seluruh sudut Pulau Bali.
Adakah karena itu ia lupa jalan pulang ke kampung halaman?
Selain haru-biru jalan-jalan kenangan, apalagi yang tersisa di kota kecilku? Kendati setiap kepulangan, Jalan Suramenggala masih kerap kubayangkan seperti Macondo. Kota imajiner Gabriel Garcia Marques sebelum Don Apoliener Mascote menyuruh para warga mengubah cat putih rumah mereka jadi biru usai pernikahan putrinya Remedios dengan Aureliano Buendia. Meski kini rumah-rumah di jalan itu tampak kusam tak terurus, dengan pagar-pagar besi berkarat dan sebagian roboh. Ya, aku harus mafhum, beginilah tipikal sebuah daerah pemukiman penambangan setelah kian menipis persediaan galiannya.
Surantih, Seruas Jalan dengan Banyak Cabang
DI Yogyakarta, kota kedua yang kuhafal lumayan baik, memiliki banyak simpang dan belokan. Tapi rasanya tak ada yang menyamai kemabukanku pada jalan-jalan di sekitar Kota Baru. Bagiku, jalan-jalan dengan rumah-rumah Belanda dan gereja itu didesain untuk memerangkap siapa pun yang lewat di dalamnya. Di jalan yang seperti labirin ini, aku menjadi demikian buta dan sering berputar-putar di jalan yang sama. Jalan-jalannya melingkar membentuk alamat sendiri dalam kepalaku.
Di kampungku, jalan besar satu-satunya adalah jalan raya antarprovinsi. Jalan di depan rumahku itu terhubung dengan Padang di bagian utara dan jauh di Tapan, selatan sana bercabang dua. Ke kiri menuju Sungai Penuh, sampai ke Muaro Bungo, Jambi, ke kanan menuju Muko-Muko Bengkulu Utara. Di sana jalan-jalannya makin bercecabang. Mereka bergerak menuju nasibnya masing-masing.
Jalan di depan rumahku itu merupakan jalur utama di Sumatera. Ke kerinci jalannya curam dan seringkali longsor. Hanya ada dua angkutan langsung yang bisa digunakan menuju Sungai Penuh tiga kali dalam sepekan, berbelok di ujung kecamatan sebelah setiap petang dan mengangkut penumpang yang tak seberapa dengan minibus tua itu. Dari Bengkulu bis hanya menumpang lalu. Ia lewat dinihari, saat kami sudah tertidur. Bis-bis besar itu merupakan angkutan dari Palembang menuju Medan. Ada Mawar Selatan, Palapa yang besar dan sama tuanya. Jalur itu mungkin dipilih karena lebih dekat ketimbang harus berputar ke jalur tengah. Sementara dari Padang tak ada bis langsung yang lewat di kampung kami menuju Bengkulu. Setiap lewat, rumah-rumah kami bergerak seperti dilanda gempa.
Tak ada nama jalan yang pasti di kampung kami. Tak ada pahlawan yang dikekalkan. Orang bisa sesukanya menamai jalan raya padat, berlubang dan sempit itu. Untuk alamat dan tanda pengenal lebih sering ditulis Jalan Raya Padang-Sei Penuh, ketimbang Padang-Bengkulu. Atau untuk mempermudah orang-orang bisa menyebut Padang-Surantih, Padang-Kambang, Padang-Air Haji, sesuai nama daerah mereka.
Jalan itulah satu-satunya penghubung kami dengan dunia luar. Ke Mentawai misalnya, kami tak punya pelabuhan. Pendirian pelabuhan di Muaro Sakai hanya sekedar rencana. Begitu pula jalan raya yang direncanakan menembus Muara Labuh, Solok Selatan. Jalan Raya tersebut kabarnya sudah tembus dan bisa dilewati, tetapi kembali menjadi hutan belantara. Sampai kini, jalan itu hanya tumbuh dalam ingatan anak negeri. Kabarnya, proyek ini selalu gagal dan tidak mendapat izin karena melewati Hutan Lindung Kerinci Seblat.
Namun begitu setidak-tidaknya kami masih memiliki jalan-jalan kampung tak bernama, tersuruk di balik sawah, membentang sepanjang sungai, berliku di tebing curam, menuju jauh ke kampung hulu. Sekarang, aku melewatinya lebih dari sekadar mengenang. Jalan-jalan itu ada yang pendek terhampar di satu kampung saja, ada yang melintasi kampung demi kampung, dan ada pula jalan yang memanjang dan berujung di hulu sana. Jalan-jalan tersebut berupa jalan tanah, yang layaknya sawah di kanan kirinya.
Jalan pertama adalah sebuah jalan yang membentang di satu kampung di Koto Taratak. Sebuah jalan yang memisahkan diri dari jalur utama di bagian utara dan bertemu lagi tak jauh di selatannya. Nama jalan ini tidak begitu pasti, ada yang menyebut Galanggang, ada yang menyebut Kampung Panai, kampung yang didiami oleh orang-orang bersuku Panai. Aku mengenal liku jalan ini karena teman-teman SD berasal dari sini. Dari jalan bersimpang ini akan sampai di sebuah simpang lain. Jalan itu membentang di hamparan sawah berujung di Lampanjang, kampung yang terbentang di hamparan sawah luas berada di belakang kampungku. Jalan utama tadi akan tembus lagi dengan jalan raya.
Jalan kampung lainnya merupakan penghubung banyak jalan dari satu kampung menuju kampung lainnya. Petang hari, aku dan kawan-kawan sering melewati jalan ini, terutama di hari libur dan bulan puasa. Jalan ini punya tiga pintu masuk di desa Lansano. Pintu masuk pertama ada di sebuah lapangan bola dekat SD. Jalan ini tak ada nama, kami menyebut kampung di jalan ini hanya Belakang. Maksudnya kampung yang ada di belakang. Pintu masuk kedua ada di depan kuburan desa. Jalannya berbelok ke dalam. Ke kanan sampai di Jembatan Panjang, muara sungai menuju Pasar Surantih, ke kiri ke Sarik dan menembus Lampanjang dan Taratak tadi. Di Sarik punya dua simpang lagi. Simpang pertama akan membawa kita ke kampung tersuruk di pinggir sungai, sampai di Jembatan Babuai yang punya simpang lagi. Simpang yang lain menukik menuju Tabek Tinggi dan Tabek Rendah yang berada di kaki gunung. Jalan ini menembus Sialang dan berujung di kaki bukit. Tapi simpang-simpangnya akan membawa kita menembus sungai besar lewat Jembatan Babuai tadi.
Jika masuk dari Pasar Surantih kita akan bertemu simpang tiga ke Pasir Nan Panjang, terus ke Timbulun, bertemu pertigaan ke Sarik tadi. Lurus ke mudik ada Koto Marapak dan Koto Panjang. Di Koto Panjang ada pertigaan menuju Sianok dan kampung lain di Amping Parak. Dari Koto Panjang kita menjelang Kayu Gadang, menembus terus ke Ganting, Ampalu. Jalan berbatu sejauh 45 kilometer berakhir di ujung kampung. Langgai namanya. Kampung hulu yang seolah asing bagi ingatan kami yang tinggal di pinggir jalan raya.
Jalan-jalan itu sama buruknya dengan penghuni rumah di kiri-kanan jalannya. Penduduk mengangkut nasib ke tanah seberang. Sebagian lain naik ke hutan dan berladang jauh dari kampung. Jalan-jalan itu terus hidup di kepalaku dan ingin selalu kujelang setiap pulang. Ajaibnya, setiap kali kukunjungi, nyaris tak ada yang berbeda dengan rupa jalannya seakan dunia tidak pernah berputar di tempat ini.
Ada banyak jalan-jalan tak bernama lainnya di kampungku. Jalan yang diciptakan sebagai pemintas jarak. Nama-namanya disesuaikan dengan kampung di dalamnya.
Jalan Paling Ujung
JIKA akhirnya kami menulis kisah ini, tentu tidak sebatas mengingat yang lampau-lampau. Kampung kami yang jauh, secara fisik nyaris tak pernah berubah. Ingatan ini barangkali sekadar pemancing, sebab kami paham, siapa pun punya kenangan mengenai ruas jalan di masa kecilnya.
Tentu Anda, pembaca yang budiman, juga punya kenangan di ruas jalan. (*)
















2.

Kupu-kupu dan Desing Peluru

Cerpen S Prasetyo Utomo (Suara Merdeka, 8 Mei 2011)
SEEKOR kupu-kupu kecokelatan yang sayap-sayapnya rapuh hinggap di dada Sarmo. Saat bentrokan dengan kerumunan warga di dekat makam keramat yang hendak digusur sebagai pabrik, kupu-kupu itu terbang rendah. Terbang di atas kepala Sarmo. Dengan pakaian seragam dan pentungan di tangan, Sarmo menghindari bentrokan: saling dorong, pukul-memukul, melempar batu, dan menganiaya. Sarmo tak ingin kupu-kupu kecokelatan itu mati. Lelaki muda itu memilih menyelinap dari kerumunan. Di semak-semak pepohonan, ia bersembunyi. Mencopot pakaian seragam. Membuang jauh pentungan. Melempar sepatu. Membersihkan luka-luka tubuh, lumuran darah, keringat, debu dan asap pembakaran mobil-mobil.
Tubuh Sarmo gemetar mengikuti kupu-kupu yang terbang rendah seperti memberi arah langkah kakinya. Kupu-kupu itu membawanya ke sebuah lorong gang, senja hari, di daerah pantai. Di kejauhan terdengar pertarungan orang-orang yang murka, orang yang berteriak-teriak kalap, melemparkan apa saja yang mereka genggam.
Tanpa seragam dan pentungan, Sarmo merasa lebih ringan melangkah. Tak bermusuhan dengan siapa pun. Ia menyelinap diam-diam, terus berjalan, menghindarkan diri dari keriuhan. Terus berjalan. Mengikuti kupu-kupu yang terbang rendah. Hingga ia tak lagi melihat asap yang membubung ke langit. Tak mendengar lagi suara teriakan-teriakan orang marah.
Tak terusik hati Sarmo untuk kembali ke kamar kontrakannya. Ia mengikuti kepak sayap kupu-kupu kecokelatan yang terbang rendah. Melupakan suara-suara meminta tolong itu terus menghantuinya. Menepis suara rintihan. Melenyapkan bayang orang-orang yang dipukuli, diinjak-injak, memekik nyaring, mulut melelehkan darah.
***
MENYUSUP di antara pepohonan, meninggalkan hiruk-pikuk manusia yang saling pukul, Sarmo mencapai dataran tepi muara sungai. Tak didengar lagi suara teriakan-teriakan garang. Langkah lelaki muda itu mencapai rumah papan di tepi tanggul sungai. Tepian sungai dengan air menggenang, hijau kehitaman—muara yang dekat dengan pantai. Kupu-kupu kecoklatan itu menghilang.
Sarmo seperti tak sadar, mengapa ia mencapai rumah papan kusam di tepi sungai. Ia termangu di depan pintu yang sedikit terbuka. Seorang lelaki tua dia lihat sedang berjongkok di depan tungku kayu.
“Masuklah! Akan kusediakan secangkir kopi untukmu,” kata lelaki tua yang duduk di depan tungku.
Menghirup kopi kental, di depan tungku kayu, Sarmo merasakan tubuh yang menghangat. Tubuh yang semula gemetar, kini merasakan ketenteraman. Ia tak ingin kembali ke kamar kontrakan. Ia tak mau dipandangi orang-orang kampung di sekitar kontrakan dengan kebencian. Ia ingin berhenti mengenakan seragam dinas itu dan tak lagi ingin memukuli orang-orang dengan pentungan.
“Tinggallah di sini,” kata lelaki tua itu, yang menyatakan diri sebagai penggali kubur. “Aku sendirian di rumah ini.”
Memandangi cangkul dan linggis di sudut dapur, Sarmo teringat cangkul, sabit, dan caping yang sehari-hari dikenakan ke sawah dan ladang di desa—sebelum berangkat mencari pekerjaan ke kota. Dia mendekati tungku masak, seperti kebiasaannya membakar singkong dan jagung di ladang.
Penggali kubur itu makan, merokok, dan membiarkan bara tungku masak menghangati rumah papan. Bila malam tercium aroma garam yang merembes celah dinding papan.
“Besok pagi-pagi benar, makam keramat itu akan dipindahkan! Sekarang, tidurlah! Besok ikutlah denganku!” Si penggali kubur tak lagi mengatakan apa pun. Sarmo bertanya-tanya dalam hati, ia baru saja bentrok dengan orang-orang yang meminta pemindahan makam keramat diurungkan. Bagaimana mungkin makam keramat itu akan segera dibongkar besok pagi? Lelaki penggali kubur itu tertidur pulas, seperti tak mengenal kesedihan. Tak menghiraukan kesibukan di luar rumahnya.
Sarmo terus nyalang sepanjang malam. Teringat akan komandannya yang penuh perhatian. Tanpa sepengetahuan komandan, dia menghilang begitu saja.
***
SEPASANG kupu-kupu bersayap kecokelatan hinggap di pusara makam keramat. Penggali kubur tak mengusirnya. Sarmo yang mengikuti lelaki penggali kubur menjadi takjub, ketika empat kupu-kupu terbang rendah, bersayap rapuh, dengan gerakan yang ringan. Kupu-kupu itu hinggap, terbang, hinggap lagi. Enam belas kupu-kupu terbang dari pepohonan liar di makam, mengitari pusara. Datang kian banyak kupu-kupu yang memenuhi langit. Di sepanjang jalan ke makam berderet lelaki-lelaki bersenapan, tank, dan mobil penyemprot gas air mata.
Kupu-kupu dari empat penjuru memenuhi langit di atas makam keramat itu digali. Tercium bau harum saat cangkul menggali tanah kubur keramat. Sarmo mengikuti lelaki penggali kubur, dan menemukan keperkasaan masa silamnya: mengolah tanah. Kian dalam makam digali, kian pekat bau harum tercium. Kupu-kupu kian berlipat-lipat memenuhi langit pagi menjelang matahari rekah.
Mayat yang berumur ratusan tahun masih utuh terbungkus kain kafan, tak tercabik sesobek pun. Mayat itu diangkat, dan kupu-kupu terbang rendah di atas pusara, dan pasukan bersenapan itu tergeragap. Mendadak serbuan orang-orang bersenjata tajam memburu beriringan, kalap menerjang pasukan bersenapan.
Rentetan tembakan ke langit berdesingan. Orang-orang yang mengamuk menghambur, meninggalkan makam keramat itu. Kembali sunyi. Hanya suara cangkul dan linggis membongkar kuburan. Beberapa pasang kupu-kupu masih beterbangan di atas makam keramat. Tak seorang pun berani mengusik berpasang pasang kupu-kupu kecokelatan itu.
***
SEPULANG dari memindah makam keramat dan beberapa jenazah lain, Sarmo mengikuti langkah penggali kubur menyusuri gang. Lelaki penggali kubur memanggul cangkul. Sarmo dengan tubuhnya yang kekar memanggul linggis. Tubuh mereka kotor berlumur tanah, keringat mengering, wajah Sarmo membersitkan keceriaan. Kupu-kupu kecokelatan terbang mengikuti langkah mereka. Kupu-kupu kecokelatan itu terbang menjauh menjelang mencapai rumah papan di tepi tanggul sungai.
Suara gemuruh bolduser, gemeretak rumah-rumah kayu yang dibongkar, suara jerit dan teriakan-teriakan marah orang-orang di tepi tanggul sungai kian riuh. Sarmo tercengang. Keriuhan orang-orang, teriakan, caci-maki, sumpah-serapah, dan jerit tangis yang mengapung sepanjang tepian sungai menggerakkan langkah Sarmo bergegas. Disaksikannya rumah penggali kubur sudah dibongkar buldoser.
Tak berani Sarmo mendekat. Ia melihat komandan dan teman-temannya: orang-orang berseragam dengan pentungan di tangan. Mereka berada di garis depan, dijaga pasukan bersenapan berjajar di sepanjang tanggul sungai. Wajah mereka sinis, dingin, dan menahan murka. Lelaki-lelaki berseragam dengan pentungan di tangan membakar reruntuhan rumah-rumah papan. Penghuni rumah-rumah papan itu tak berani menembus barisan lelaki-lelaki bersenapan. Mereka menjerit-jerit. Melolong-lolong. Berteriak-teriak.
Api surut perlahan-lahan. Cahaya senja semerah besi berkarat. Kupu-kupu kecokelatan terbang rendah di tanah bekas rumah penggali kubur. Datanglah sepasang kupu-kupu, empat, enam belas, dan kian berlipat kupu-kupu mengitari tanah-tanah yang terbuka. Lelaki-lelaki bersenapan terpana menyaksikan kupu-kupu kecokelatan beterbangan. Mendadak, tak terduga, muncul berbondong-bondong orang bersenjata tajam, berteriak bersamaan, menghambur dari lorong-lorong gang. Menyerbu lelaki-lelaki berseragam dan barisan lelaki bersenapan yang tergagap. Tembakan senapan beruntun berdesingan di langit senja.
***
SEEKOR kupu-kupu kecokelatan terbang mengikuti langkah Sarmo. Ia tak lagi menemukan penggali kubur. Tinggal cangkulnya. Tergeletak di antara orang-orang yang terluka. Berlumur darah. Dipungutnya cangkul penggali kubur dan dia meninggalkan kawasan tepi tanggul sungai yang kini terbuka kecokelatan tanpa rumah-rumah papan di atasnya. Dia melangkah menyusuri lorong gang. Terus melangkah. Tak ada jalan lain, ia mesti kembali ke kamar kontrakannya. Ia terus melangkah. Kupu-kupu itu menghilang dalam gelap.
Menjelang malam Sarmo mencapai kamar kontrakan. Mencari sebuah papan bekas, membeli cat dan kuas. Menulis sesuatu di papan itu. Memakukannya di dahan pohon nangka yang tumbuh di depan kamar kontrakannya. Kupu-kupu kecoklatan hinggap di papan. Sayapnya kuncup. Seorang anak kecil berlarian di lorong gang, berhenti, membaca terpatah-patah tulisan di papan yang dipakukan pada dahan pohon nangka: “Penggali Kubur”.
***
KETUKAN pintu kamar kontrakan Sarmo terdengar gencar. Membangunkan lelaki muda itu dari tidur lelapnya. Hari masih gelap, meski angin fajar terhembus saat ia membentangkan pintu kamar. Harum buah nangka rekah tercium seketika. Seorang lelaki setengah baya, berpeci, bersarung, tak henti-henti menghisap rokok berdiri di depan pintu kamar. Sepasang matanya kuyu.
“Ikutlah denganku ke rumah duka. Ukur mayatnya,” kata lelaki setengah baya itu. “Dan galilah liang lahat pagi ini juga. Pemakaman dilakukan nanti siang.”
Pagi masih gelap di rumah duka. Sisa embun di rerumputan pelataran, endapan kopi pada gelas, puntung rokok berceceran pada asbak. Sarmo berhadapan dengan wajah kusut seorang ibu, dua putri di sisi jenazah yang terbujur. Foto lelaki bersenapan, berkumis, gagah, dengan sepasang mata bening, mengejutkan Sarmo.
“Dia membiarkan diri dihujani senjata tajam, dan tak mau menembak, hingga meninggal,” kata lelaki setengah baya yang menjemput Sarmo. “Kejadian ini di tepi tanggul sungai tepi pantai kemarin sore.”
Menggali tanah kubur, masih pagi, kupu-kupu kecokelatan mengitari tanah yang digali. Sepasang kupu-kupu datang, empat, enam belas, dan seperti kemarin, berdatangan kupu-kupu di atas kuburan. Liang lahat terasa gembur, dan suara cangkulnya tak pernah membentur bongkah batu.
Pelayat yang mengantar jenazah siang itu memenuhi makam. Kupu-kupu hinggap di daun dan bunga-bunga kamboja. Pasukan bersenapan mengiring pemakaman. Tembakan senapan beberapa kali dalam pemakaman, mengejutkan kupu-kupu yang hinggap di dahan, daun dan bunga-bunga kamboja.
Seekor kupu-kupu kecokelatan kembali mengikuti Sarmo. Ia belum ingin kembali ke kamar kontrakannya. Ingin dicarinya, di mana penggali kubur berada setelah rumahnya dirobohkan dan dibakar. Menuruni makam, ia disambut komandannya yang datang melayat dengan sergapan bahagia, “Syukurlah, Sarmo. Kutemukan kau dalam keadaan selamat. Kembalilah bertugas besok pagi!”
Memandangi topi, seragam, pentungan, dan sepatu yang dikenakan komandannya, Sarmo masih sempat tertegun. Lama ia termenung. Hampir saja ia mengangguk. Tapi kupu-kupu kecokelatan yang hinggap di bibirnya, menyebabkannya kelepasan bicara, “Aku tak akan lagi bertugas. Akan kujalani hidupku sebagai penggali kubur.” (*)








3.

Purnama Tenggelam di Rajasthan

Cerpen Badrul Munir Chair (Suara Merdeka, 15 Mei 2011)
TENTU saja kau tak ingin menjadi Kurawa seperti dalam kisah Mahabharata karya Mpu Vyasa yang pernah kaubaca ketika masih remaja. Kau ingin menjadi Gatotkaca, ksatria Pandawa yang selalu kau kagumi. Namun kini kau tak lagi percaya pada cita-cita. Sayap-sayapmu patah, hatimu remuk. Kau mulai mengutuk, meragukan cerita-cerita dalam Mahabharata, kau menyesal karena pernah bermimpi untuk menjelajahi India, hanya karena seorang perempuan? Ah!
Kau baru saja tiba di Negeri Rembulan. Ya, Negeri Rembulan yang selama ini hanya ada dalam angan-anganmu, menggenapi mimpi-mimpi remajamu. Akhirnya kau bisa menginjakkan kedua kakimu di Rajasthan, tempat kau bisa melihat purnama dari titik paling sempurna dari belahan dunia mana pun. Ketika kemudian kau tak sengaja melihat perempuan itu datang dari arah berlawanan, begitulah, kalian lalu berkenalan.
Adalah hal biasa bukan? Kau selalu berkenalan dengan orang-orang yang kau temui selama perjalananmu.
Tapi ia berbeda, batinmu. Wajah perempuan itu seperti Srikandi yang wajahnya kau kenali dari patung lilin di Kurusetra yang dua hari lalu kau singgahi. Benar-benar seperti pinang dibelah dua. Sorot mata tajam seperti ujung pedang, hidung mancung sebagaimana mestinya perempuan India, dagunya lancip, dan wajah berbinar seperti bulan.
Namanya Devi, usianya sembilan belas tahun lebih satu hari. Ia lahir ketika malam purnama, ketika bulan membentuk lingkaran bulat sempurna seperti bola. Dan malam ini ia merasa seperti burung, terbang bebas ke mana pun ia mau. Ia sedang mencari ksatria untuk mendampingi hidupnya selamanya, tepat saat bulan purnama bersinar sempurna. Begitulah ia bercerita padamu di bawah purnama. Di Padang Pasir Thar yang mengelilingi Rajasthan, kau menggenggam erat jemarinya.
“Perempuan sembilan belas tahun sepertiku sudah selayaknya bersuami,” ucap dia sembari mengerlingkan mata.
Kau hanya tersenyum, menatap wajahnya tanpa berkedip. Jemarimu semakin erat menggenggam jemarinya yang kurus.
Sungguh malam yang sempurna. Di bawah guyuran cahaya purnama, kalian saling berbagi cerita. Kau bercerita tentang mimpi-mimpi masa mudamu, tentang obsesimu untuk pergi menjelajahi India karena kau terbius pada keindahan yang kau saksikan dalam film Bollywood dan cerita Mahabharata, tentang gadis-gadis cantik dalam film-film India yang sering kau saksikan ketika masih muda. Dan kau merasa tak malu ketika kau juga bercerita tentang negaramu yang porak-poranda akibat krisis ekonomi dan korupsi yang merajalela. Kau tak lupa berusaha sedikit merayunya, kau katakan padanya bahwa wajahnya seperti Srikandi, dia hanya tersenyum, lalu kalian sama-sama tertawa.
Purnama semakin menggila menerangi India, dan kau sepertinya terlalu cepat jatuh cinta….
Kau teringat akan masa remajamu ketika kau sering harus menginap di rumah tetanggamu demi menyaksikan film Bollywood yang selalu diputar menjelang tengah malam. Dari sanalah kau kali pertama tahu betapa indah India, dan sejak saat itu kau terobsesi dan berjanji kelak akan menginjakkan kaki di India. Ketika remaja kau juga membaca kisah dalam Mahabharata. Kau begitu tertarik pada cerita tentang pertarungan antara Pandawa melawan Kurawa 3000 tahun silam di India, dan sejak saat itu keinginanmu untuk menjelajah India semakin menggebu, kemudian angan-angan itu selalu menghiasi mimpi malam-malammu.
Begitulah cerita, kini kau menginjakkan kedua kakimu di India, setelah berbulan-bulan berjalan kaki menelusuri negara-negara lain di penjuru Asia. Seperti mimpi yang nyata, seperti utang yang ditunaikan. Namun, yang kau rasakan adalah miris dan kecewa, India tak seindah cerita-cerita yang pernah kau baca.
Iya, India memang berbeda, kau begitu kecewa ketika menerima kenyataan bahwa India tak seindah dalam adegan film ataupun cerita-cerita yang pernah kaubaca, semua orang sibuk mencari Rupee, ratusan orang rela berjubel seperti ikan sarden di atas gerbong kereta ataupun bus kota demi menghemat ongkos, bioskop-bioskop tua yang selalu penuh, ah, nama besar Gandhi dan Tagore seakan tenggelam di negerinya sendiri. Dan rasa kecewa semacam itu pula yang kau rasakan ketika kau menemui ayah Devi untuk meminangnya.
“Kau hanyalah seorang pengembara, anak muda, selain itu kau punya apa?” lelaki tua itu memang tak salah, kau membatin. Seorang ayah tentu selalu mencari lelaki yang mapan untuk bakal suami anaknya.
“Kau sudah menyiapkan berapa Rupee untuk membawa anakku?”
Tentu saja kau terkejut, hatimu remuk, caranya menawarkan anaknya seperti menjual wanita murahan saja—seperti cukong-cukong dan mucikari yang pernah kau temui di jalan-jalan kecil Kota Kalkuta. Pyuh, kau meludah di hadapannya.
Kau memang hanya pengembara, menggerakkan tubuhmu tanpa tujuan yang kau tahu. Kau hanya ingin membuang kecewa, kecewa terhadap negerimu yang porak-poranda, ribuan mil dari Rajasthan, Jakarta sudah menjadi neraka, kuburan raksasa yang sudah dipersiapkan para penguasa kepada setiap orang yang hendak melawan mereka, jika kau tak segera pergi, kau hanya tinggal menunggu mati, apalagi sebagai mahasiswa, kau adalah sasaran empuk para penguasa.
“Curilah aku dari ayahku, Rama. Bawalah aku lari ke negaramu, mungkin di sana aku akan menemukan impian yang tak pernah aku dapatkan di Rajasthan.”
Kau hanya diam, memandangi lentik alis perempuan yang meratap di hadapmu, di atas dua mata bulat. Kau mengecup keningnya di bawah sorotan rembulan yang membulat sempurna.
Purnama di Rajasthan jangan pernah dilewatkan….
Kau teringat pada sebuah tulisan yang kau temukan dalam sebuah tulisan di majalah travelling, tentang purnama di Rajasthan. Bahkan kau sangat mengingat kata demi kata yang dituliskan di majalah itu: “Di Padang Pasir Thar Kota Puskhar, salah satu sudut di Provinsi Rajasthan, purnama akan tampak begitu sempurna, membulat seperti bola, dan letaknya tepat di atas kepala kita, seperti bola lampu yang menempel di langit-langit kamar kita, seakan-akan purnama memang diciptakan khusus untuk penduduk kota ini.”
Sepertinya, kekecewaanmu pada India akan terbayar lunas di Rajasthan. Setelah perjalanan menjenuhkan menyusuri sudut-sudut kota Kalkuta, perlakuan tidak menyenangkan oleh polisi Amristar, hiruk-pikuk New Delhi yang sangat padat sekali, mendapati Sungai Gangga yang kumuh di Varanasi, benar-benar tak seindah cerita dalam film Bollywood.
Namun kau mendapati suasana yang sama sekali berbeda ketika menjejakkan kedua kakimu di Rajasthan, tak seperti di kota-kota sebelumnya yang membuatmu tak betah, di Rajasthan, semua orang yang berlalu-lalang seakan tersenyum memberi ucapan selamat datang, wajah-wajah yang ramah, dan kota yang begitu indah.
Pada malam hari, ketika kau tiba di Padang Pasir Thar, kau sungguh tak percaya mendapati purnama seakan-akan hanya berjarak beberapa meter di atas kepalamu, kau sungguh bahagia dan terpesona, dan hatimu terasa semakin berbunga-bunga ketika tak sengaja kau melihat seorang perempuan datang dari arah berlawanan, dan kalian berkenalan.
Kalian duduk berdua beralaskan hamparan pasir, kau dan Devi, walau sebenarnya kalian tak hanya duduk berdua karena begitu banyak orang yang datang memenuhi Padang Pasir Thar untuk melakukan ritual purnama, namun bagimu, purnama itu hanyalah milik kalian berdua.
Saat itu, tentu saja kau tak pernah menyangka, bahwa perempuan itu hanya akan menambah cerita kelam perjalanan panjangmu menyusuri India.
“Apakah aku mencintai orang yang salah?”
Pertanyaan itu kini diam-diam menggelayuti hatimu. Walau seharusnya yang kau tanyakan adalah, “Apakah aku terlalu cepat jatuh cinta?” Ah, sebelumnya kau memang tak pernah merasakan cinta yang lebih indah dari ini, dan tentu saja indah dari ini, dan tentu saja lebih luka dari segalanya.
Kini kau merasa kesepian di tengah Padang Pasir Thar yang telah menjelma lautan manusia. Setiap purnama, orang-orang dari pelosok India berduyun untuk melakukan ritual purnama, semacam persembahan dan ucapan terima kasih kepada dewa, membaca doa-doa dan pujian menurut kepercayaan mereka.
Devi baru saja meninggalkanmu, menghilang di antara kerumunan orang-orang yang sibuk mendirikan tenda untuk tempat bermalam mereka, sebagian yang tak punya biaya hanya tidur beralaskan pasir dan beratapkan purnama, —seperti kalian.
Ah, dia memang tak pernah mau mengerti, betapa kalian bernasib hampir sama, mempunyai kekecewaan yang sama terhadap kampung halaman, negara yang sama-sama kacau, poor country, dan secercah harapan kalian yang sama-sama sirna.
Kau benar-benar merasa sepi, kau merebahkan diri di atas pasir, memandang rembulan yang bersinar seperti bola lampu dengan watt tinggi. Ah, kau jadi teringat dengan kamarmu, kamar kecil tempatmu biasa merebahkan diri, ribuan mil dari India, di sebuah kota kecil dekat Jakarta, tempat kau menghabiskan masa remaja. Kau tersadar, terkadang pepatah memang benar, hujan batu di negeri sendiri lebih berarti daripada hujan emas di negeri orang.
Tiba-tiba kau ingin sekali pulang ke Indonesia, sepetak tanah yang sudah hampir kau lupa. Kau benar-benar rindu, rindu untuk mencium aroma tanah negeri kelahiranmu. Kau segera mengemasi barang-barangmu, kau telah bertekad untuk pulang, pulang ke tanah kelahiranmu, tanah kelahiran nenek moyang.
Baru beberapa jauh dari tempatmu melangkah, seorang lelaki paruh baya menegurmu, menawarimu untuk mampir kedalam tendanya, “Perempuan, Tuan. Silakan dipilih, boleh dibawa ke hotel atau di dalam tenda.”
Kau begitu tercengang, bukan karena tawaran lelaki itu, namun kau melihat Devi duduk di antara perempuan-perempuan yang ditawarkan di dalam tenda, mengenakan pakaian minim bahkan nyaris telanjang. Kau merasa benar-benar tak percaya!
Di pinggiran Rajasthan, ketika kau hendak meninggalkan negeri itu dalam keterasingan, sekali lagi kau melihat rembulan. Kau lihat warna rembulan yang langsat berubah pucat, lalu perlahan kenangan dan mimpi-mimpimu memudar, seperti purnama yang tenggelam di Rajasthan. (*)

4.

Rusuk Seratus Tahun

Cerpen Eko Triono (Suara Merdeka, 22 Mei 2011)
Rosma Niken:
BEBERAPA kali, ia memang kemari. Terakhir, hari keenam pekan lalu. Nangis. Ia bercinta dengan menangis. Tangis paling pilu, tangis tanpa suara. Hanya getar dada dan bibir yang membuat orang yakin, perasaannya sedang tercabik-cabik. Teremas sampai giris.
Kukira, itu memang tangis yang benar-benar pecah dari puncak kesepiannya sebagai lelaki. Lelaki yang malang; hingga akhir hayatnya. Lelaki seratus tahun yang tak bisa mencintai siapa pun. Tak berjodoh dengan perempuan mana pun!
Anda bisa bayangkan sendiri. Bagaimana rasanya hidup bertahan bertahun tanpa cinta dan kasih sejati dari pasangan? Tanpa getar rindu sesinyal pun, meksi ia telah berburu dari satu ladang ke ladang lain, dari sawah ke sawah lain.
Kalau kemari, Mama Seli selalu menyerahkannya ke kamar ini, ke tempatku. Dan setiap kali kupandang matanya yang tua, ia menunduk, seolah aku ibu—yang mendapati anak lelakinya melacur—hingga kerut dan letih semua perasaan dilarikan. Dengan hati-hati, selalu kucoba memberikan imajinasi percintaan paling suci padanya. Tentang pepuja Pagan juga Amon-Isis pada wajah Monalisa yang bijak dalam penyatuan kehendak agung.
“Anda pasti tampan saat belasan tahun, Tuan, tampan sekali.”
Dan ia tak pernah menjawab girang ataupun tersanjung. Hanya melihatku pendek, senyum, seolah bilang; aku tak peduli dengan ketampanan, beribu perempuan mengatakan itu padaku. Matanya membuatku berpaling pada lukisan bakteri-bakteri amuba yang menangis, pemberiannya ketika aku bertanya dengan hati-hati, suatu kali, “Apa sebenarnya yang terjadi pada Anda?” Selang sehari aku mendapatkan kiriman lukisan x meter itu darinya. Dan selama beberapa hari, ia tak pernah muncul, hingga terdengar kabar: langganan kami yang paling kaya itu pergi ke luar negeri.
Tapi tidak.
Ia masih kembali dan menemuiku hari keenam pekan lalu saat hujan memenjara dingin. Dengan stelan jas hitam, ia masuk. Tongkat dan topinya aku yang tertibkan. Dan, tak kusangka, ia berkata-kata sejak langkah pertama memasuki kamar, dengan suaranya yang tua: “Rosma, aku telah baca Kawabata, juga Marquez, aku ingin menikmati cinta tanpa bercinta denganmu malam ini. Tanpa sentuhan satu gores pun. Aku hanya ingin memandangmu.”
Aku tak paham.
Dengan lembut kemudian ia dudukan aku di atas ranjang, “Aku hanya ingin melihatmu, itu saja. Siapa tahu, dengan begitu aku dapat merasakan cinta sejati, Rosma. Cinta yang dimiliki oleh semua manusia. Dan bukankah aku ini juga manusia? Bukankah aku pantas memiliki cinta, Rosma?”
Aku menunduk dan menangis.
Kata-katanya terlalu dalam menghujam. Betapa.  Betapa malang lelaki ini. Umur panjang ternyata tak membuat kesempatan jatuh cinta terjadi sekalipun dalam hidupnya. Selebihnya, kubiarkan ia mewujudkan pikirannya. Ia mau lihat aku terbaring berbantal sebelah lengan dan bicara apa pun, bercerita apa pun, tanpa rasa sungkan, takut, juga penambahan di sana-sini demi kesan tertentu buatnya.
Hingga malam terlepas, dini hari menyentuhi kaca jendela.
Dan ia dengan aneh dan tiba-tiba berteriak tak jelas; menyerbuku seperti singa yang lama kehilangan betinanya! Meraung dan menangis sebentar. Kemudian diam dalam tangis, atau mungkin tangis dalam diam. Ngilu, pilu. Tapi bukan tangis rindu dalam arti cinta yang manusiawi. Ia tak pernah jatuh cinta. Ia ingin jatuh cinta. Ia menangis untuk cinta yang tak ada dalam dirinya. Ia menangis untuk perburuannya menjadi manusia utuh yang gagal. Kasihan ia.


Omar Desta Fathur:
HOMO? Ngawur. Itu spekulasi yang sangat ngawur. Tak ada bukti sama sekali. Itu strategi politik untuk menurunkannya dari kekuasaan atas partai dan sejumlah perusahaan yang ditangani. Dengar, ya, dengar: Tuan Foklor itu tidak menikah sebab pilihan hati. Toh, banyak orang yang memilih tidak menikah. Apa yang salah? Itu hak asasi. Kita ini hidup di negara yang telah bebas. Bebas melakukan apa pun. Apalagi bagi orang berharta dan berkuasa seperti Tuan Foklor.
Astaga! Apalagi….
Anda ini kalau bertanya ngumpulin data dulu nggak sih? Kalau iya, darimana itu. Info ngawur kok dicomat-comot, dipakai begitu saja. Ya enggaklah! Kalaupun mendirikan beberapa panti asuhan, rumah singgah, adopsi, termasuk taman kanak, itu karena tanggung jawab sosial. Negara ini butuh banyak campur tangan para dermawan seperti beliau. Lha kok malah diubar-uber isu macam begitu. Pedofillah, inilah, itulah.
Sudahlah, lebih baik dihapus memori semacam itu, kita ganti dengan kenyataan bahwa Tuan Foklor adalah anak bangsa yang membanggakan. Bahkan, kalau perlu, nanti, di dewan, kita usulkan menjadi pahlawan nasional. Lihatlah jasa-jasa beliau di banyak bidang, pendidikan, ekonomi, termasuk jasa dalam pengembangan pariwisata ke seluruh dunia.
O, kalau kesan. Tentu sangat banyak.
Tlilit…tlilit…. Tlililit….
Maaf, sebentar ya, halo? Gimana Zain, sudah siap? Bukunya sudah dicetak? Jangan lupa kontak media. O, ya, ya, nanti kutransfer, gampang itu….
Dokter Tamara:
SAYA ngomong gitu, bukan berarti pernah jadi istri atau selingkuhannya lho, hihihi. Nggak dhing, becanda itu! Becanda.
Aduh, tadi lupa. Tanya apa ya?
Oh, ya, Tuan Foklor memang orang besar dan berpengaruh. Saya bangga jadi dokter pribadinya, yang itu artinya, saya tahu persis apa saja yang terjadi, terkait dengan kesahatan beliau. Tapi terakhir, sebelum meninggal, tak ada apa-apa. Kesehatannya tetap terkontrol meski pada usia tua, bahkan sangat tua. Bayangkan, seratus tahun masih bugar? Sulit, sulit mencari duanya. Dan hanya beberapa tulang pegal, encok, atau tangan gemetar, dan sedikit mudah masuk angin. Dan itu biasa, dalam artian, mudah ditangani —dan memang tak berpengaruh. Beliau masih aktivitas seperti biasa; mengisi beberapa kolom koran, jalan-jalan ke taman kota, berburu di hutan belakang rumahnya, dan pergi ke tempat-tempat yang biasanya dia sukai.
Tidak, sekali lagi, tidak.
Saya berani menjamin secara profesional, bahwa bukan penyakit fisik yang menyebabkan beliau sering terlihat aneh, dan meninggal dengan cara aneh tersebut. Oh, Tuhan, sampai hari ini aku tak percya Tuan Foklor terga berbuat itu pada dirinya sendiri.
Bisa jadi. Itu bisa jadi.
Tapi, mohon maaf, saya tidak berani berkomentar sebab itu bukan bidang saya. Coba Anda tanyakan pada beberapa psikolog yang sering Tuan Foklor temui.
Paranormal Demian:
MUNGKIN memang inilah waktunya. Akan kukatakan suatu hal besar tentang Tuan Foklor. Tapi sebelumnya dengan terbuka, kukatakan nama yang kusandang ini adalah pemberian dari beliau.
Beliaulah yang membuatku dikenal sedemikian luas. Bahkan nyaris hampir setiap detik, aku dikunjungi orang-orang. Dari segala cara, dengan segala masalah. Yang anehnya aku tak bisa menyelesaikan permasalahan beliau. Hari itu, aku masih tujuh belas tahun. Ada pertunjukan kuda lumping di alun-alun kota. Aku datang. Banyak orang penting, yang dibicarakan teman-temanku, ada di pertunjukan tersebut. Tapi aku tak peduli. Aku hanya rasa pertunjukan itu memboskankan, dan dalam batin, aku berkata: “Kuda lumping kenapa cuma nari dan makan bara. Kalau memang hebat, naiklah pohon kelapa, atau tembuslah perut dengan sangkur!”
Dengan serta merta yang tak kuduga, para pemain kuda lumping melakukan apa yang kukatakan.
Bersama itu, sang penimbuz—pawang kuda lumping—menatapi aku dan mendekat dengan marah. Dan saat itu, datanglah Tuan Foklor. Beliau mencegah. Kemudian mengajakku ke mobil, menuju penginapan. Dimintanya aku duduk, dan ia menanyai banyak hal. Kemudian beliau tahu, aku tak lagi punya orang tua. Aku pun diangkat, dibiayai dengan rahasia, dan disekolahkan ke sekolah ilusionis di Jerman. Dari sanalah aku dapat nama: Demian Raharjo. Beliau bilang bahwa aku seperti rekan Shinclair dalam novel Hesse. Aku punya bakat alami supranatural. Yang membuatku beda adalah aku tak pandai melukiskan mimpi buruk dan tak menyukai burung hantu dan Abraxas. Apalagi menggabungkan Tuhan dan setan dalam satu diri itu. Dan lagi: Tuan Foklor mempercayaiku sebab akulah orang yang paling mengerti kegelisahannya. Kegelisahan paling rumit sekaligus celaka yang masih sulit berterima di benak awam.
Dan beliau, beliau itu. Ah, aku berat mengatakannya. Tapi, inilah sumber semua masalah dalam hidupnya yang menimbulkan beban di satu sisi, bahkan kukira, keuntungan dari itu tak sebanding dengan penderitaan yang beliau alami.
Beliau, beliau itu: berusuk lengkap.
Tak ada selengkung pun yang kurang atau ganjil, sebagaimana selazimnya kami sebagai laki-laki normal. Dan berarti bahwa: beliau tak memiliki jodoh di dunia ini selain dirinya sendiri. Beliau tak berhak atas cinta pada lawan jenis; ajaib sekaligus misterius. Tapi itulah kenyataan. Kenyataan yang selama ini beliau tutupi.
Kasihan sekali beliau. Hidup jadi manusia amuba yang membelah setiap cinta dan kerinduan dari dan untuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya beliau sering nampak murung. Beliau ingin benar dapat jatuh cinta. Dapat berkeluarga. Menikah. Memiliki pasangan. Dan normal sebagaimana manusia lainnya. Tapi sungguh, itu tak terjadi. Aku bisa membaca pikiran beliau dengan jelas sebagaimana yang beliau inginkan dengan mengangkatku. Sebab beliau pun dapat membaca pikiran, pikiran setiap lelaki.
Kemampuan itu yang membantu beliau dalam karir dan bisnis; termasuk membantu menemukan bakatku dan mengolahnya. Meskipun aku tahu, beliau punya tujuan: agar aku, dengan entah kekuatan macam apa, mengubah jiwa gelisah beliau tentang cinta, jadi normal. Jadi sebagaimana Adam yang dicabut rusuknya buat jadi kekasih. Buat jadi cinta yang indah, dan begitu membahagiakan, mencipta kangen, dan segala romantisme hidup di dunia.
Ya, aku tak bisa melarang beliau.
Lelaki tua, yang paling panjang umur itu, begitu baik. Aku tak kuasa. Termasuk ketika beliau memberi tahu akan menikahi dirinya sendiri dengan aku sebagai saksi. Dan igauan ngerinya sepanjang ijab paling absurd itu: tentang mati dengan rusuk tercerabut, dan aku bakal diminta menyimpan, untuk kemudian hari; bila kloning telah diizinkan. Agar kelak rusuk itu ditumbuhkan dengan ilmu dunia, sebab semua ilmu sihir dan ilusi tak lagi cukup melahirkan perempuan dari sela-sela rusuknya yang putih dan melengkung keras. Perempuan baru yang selalu dirindukan menemani duduk dan bercerita. Atau mungkin datang ke makamnya setiap senja, dengan biola kecil, dan memainkan lagu kehidupan yang sederhana.
Oh, tidak. Aku selalu jadi melankoli ketika mengingat semua kelembutan, juga penderitaan Tuan Foklor.
Seperti yang semua penduduk kota ini tahu. Bukan hanya igauan: itu semua terrnyata rencana kematian. Beliau mewujudkan igauan ngeri tersebut.
Beliau patahkan rusuknya sendiri pada saat-saat kematiannya. Menyomplaknya dalam sekarat. Dalam teriakan mekik. Sementara aku hanya bisa memejam; tak boleh mendekat. Padahal Anda bisa bayangkan: betapa sakit, ngilu, dan perihnya mencabut rusuk sendiri dalam detik-detik menjelang kematian yang menakutkan. Tidak. Demikian itu yang beliau mau. Aku tak melakukan apa pun.
Dan kukira, memang itulah yang lebih baik bagi beliau. Hidup tanpa cinta, bagi manusia, bukankah seperti kematian yang dimulai sejak awal kelahiran?
Ah, tidak. Aku… aku masih ingat. Ingat benar apa yang beliau katakan ketika menyompal rusuk sendiri, setelah mengorek dadanya dengan pisau, dan dengan gaib, beliau, seorang kakek seratus tahun mampu bertahan sedemikian rupa dari kematian—hingga dapat tersenyum dan berkata pada sepotong rusuk yang masih dipenuhi titas darah dalam gengamannya; berkata dengan gemetar yang dipancari sinar kebahagiaan akhir.
“Eva, hanya maut… yang tahu. Betapa aku… benar-benar tak sempurna, bila hidup tanpa cinta dan kehadiranmu….” (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5.

Pertarungan Terakhir

Cerpen Hermawan Aksan (Suara Merdeka, 29 Mei 2011)
PADA suatu malam gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca rumah, aku kehilangan tokoh utama ceritaku. Tiba-tiba alur kisah yang tengah kurangkai menjadi buntu, seperti menumbuk bidang datar yang pejal. Tema, konflik, deskripsi suasana, segalanya menjadi tanpa arah, tak ubah tersesat di hutan antah berantah.
Ke mana ia? Padahal aku tengah bergairah menjadikan dia seorang bramacorah. Aku hendak mempertemukan dia dengan seorang musuh bebuyutan dalam pertarungan terakhir di sebuah lembah yang basah di kaki Gunung Salak dan akan menjadi penentuan siapa sebenarnya bramacorah yang paling hebat dalam sejarah. Sang musuh sudah mengadang, dengan baju dan celana hitam komprang serta golok panjang di pinggang, dan sekarang tokoh utamaku menghilang. Apakah ia mendadak menjadi lelaki tanpa nyali?
Kubongkar tumpukan kertas buram yang biasa kupakai untuk merancang-rancang secara kasar cerita-cerita pendek. Barangkali ia terselip di sana, menyembunyikan diri dari angin dingin yang menyelinap melalui ventilasi, atau sengaja bertemu dengan tokoh-tokoh lain rekaanku. Tak ada.
Kubuka folder demi folder di komputerku, siapa tahu ia menyelimpat di salah satu di antara puluhan file naskah jadi atau setengah jadi. Barangkali ia ingin sejenak jalan-jalan membuang kejenuhan, lagaknya pengarang yang kadang dilanda kekeringan gagasan. Tak juga kujumpai di sana.
Beberapa waktu lalu, dua kali ia menghilang. Pertama, ia lenyap ketika aku menjadikannya seorang pejabat yang ketahuan mencuri uang negara. Cerita ini terinspirasi oleh fakta mutakhir di sebuah kabupaten bahwa bupati, wakil bupati, sekretaris daerah, dan anggota dewan, semuanya menjadi tersangka korupsi. Tak tersisa. Ia kutemukan di saku bajuku, tokohku itu, di secarik kertas kuitansi honor dari sebuah media.
Kedua, ia raib dari bidang layar komputer ketika cerita hampir mencapai klimaks dan ia harus menghadapi istrinya yang montok macam timun suri selingkuh dengan bosnya. Ia kutemukan pagi hari tengah mematung di kolam kecil di depan rumahku, memandang ikan-ikan yang kedinginan. Aku memintanya masuk karena udara mengandung embun yang membekukan, tapi ia bergeming seperti patung salju. Aku menduga ia tengah berangan-angan menjadi kodok jantan, untuk menemani kodok betina di balik batu di sudut kolam.
Namanya Surandil, tokohku itu. Sulit aku memerikan sosoknya. Ia pernah kupakai menjadi banyak karakter. Ketika menjadi mahasiswa, ia berwajah biasa-biasa saja sehingga terbiasa patah hati karena selalu mendambakan mahasiswa yang cantik luar biasa, kerap berlagak sebagai pencinta binatang tapi membenci tak alang kepalang kucing milik ibu kos karena selalu membikin gaduh di genting kamar tatkala ia berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Ketika menjadi pengemis, Surandil bertubuh kumuh seperti patung jerami pengusir burung, bertopi pandan dan berkaki pengkor, dengan baju berwarna campuran segala benda kotor dan bau seperti got mampat.
Ketika menjadi anggota DPR, ia memakai jas, dasi, dan sepatu pantofel mengilat, pintar berjanji tanpa perlu menepati, duduk nyaman di jok mobil Alphard yang menguarkan harum magnolia seraya jemarinya sibuk mengubah-ubah status Facebook dan Twitter, kemudian menyandar tenteram di kursi empuk ruang sidang dengan mata lelap terpejam, atau menitip tanda tangan dan meluncur ke sebuah ruang yang samar dan temaram.
Aku menyukai nama Surandil tanpa sebab. Di dunia nyata, pastilah yang ada Suranto, Suratno, Suharto, dan yang sejenisnya, tapi aku tak yakin apakah ada nama Surandil. Nama ini muncul begitu saja seperti putik bunga pada pagi hari dan berseminya putik tidak perlu karena sebab tertentu. Tentu saja Surandil tidak tampil dalam setiap cerita. Tapi seperti Seno Gumira dengan Sukab, AS Laksana dengan Seto, dan Mahwi Air Tawar dengan Madrusin, Surandil seperti belahan jiwa bagiku. Soulmate.
***
INGIN kutanya istriku di mana gerangan Surandil. Tapi risikonya terlalu tinggi. Pertama, ia tengah lelap dan dengkurnya hilang-timbul di tengah desau angin malam. Oh, istriku cantik dan seksi. Jadi, tak ada hubungannya antara dengkur dan kecantikan. Ia akan marah, atau setidak-tidaknya cemberut berat, kalau kubangunkan di tengah mimpinya. Ia sekretaris sebuah perusahaan penerbitan buku dan ia harus bangun pagi karena selalu berangkat pukul tujuh dari rumah. Kami sudah hampir lima tahun menikah dan kami saling mencintai, setidak-tidaknya aku yakin kami saling mencintai, meskipun belum dianugerahi sesosok bayi. Kedua, ia akan bertanya macam-macam, siapa itu Surandil. Akan makin runyam kalau ia menyangka Surandil adalah manusia nyata.
Esoknya, kusambangi rumah temanku sang komponis lagu. Rumahnya hanya berselisih satu rukun warga dengan rumahku. Sesekali aku mampir jika hendak menjemput inspirasi di taman kompleks. Kadang jalan kaki, tapi kali ini menunggangi motor bebekku. Rumahnya menghadap taman, asri seperti iklan-iklan perumahan elite. Lagu-lagunya sedang digandrungi anak muda, memadukan rock, blues, keroncong, tarling, dan orkes gambus seperti adonan ketoprak betawi. Bagaimana lagu-lagu acakadut seperti itu digemari, ah, selera anak-anak muda tak pernah bisa kita duga.
Beberapa kali aku membawa serta Surandil ke rumah sang komponis, tanpa sengaja, karena tahu-tahu ia menyembul dari kepalaku, atau kadang lepas dari lepitan dompet. Kami, maksudku aku dan sang komponis, kerap bertukar gagasan mengenai proses kreatif. Tak jarang aku bertemu berbagai tokoh baru dari lagu-lagu gubahannya. Sebaliknya, dari karya-karya yang kutunjukkan, ia kerap menciptakan lagu.
“Kamu lihat Surandil?” tanyaku, tanpa basa-basi melumat sepotong donat.
Sang komponis menghentikan petikan gitarnya. Keningnya berkerenyit, lapisan kulitnya membentuk gelombang sinus-cosinus sejajar dari tepi ke tepi. “Siapa Surandil?”
Ditanya seperti ini, kelabakan juga aku menjawab apa.
“Rasanya kamu tinggal berdua saja dengan istrimu. Adikmu? Atau keponakanmu? Seperti apa rupanya?”
Nah, pertanyaan ini juga sama sulitnya dijawab. Tak mungkin aku bilang dia anggota dewan berjas wangi. Sama musykilnya kalau aku bilang ia pengemis berbau penguk dengan kaki pengkor.
Karena aku diam saja, sang komponis kembali memainkan jemarinya di kawat-kawat gitarnya. Terdengar genjrengan musik acakadut yang tengah digemari anak-anak muda.
Aku lebih baik permisi saja.
Setelah menyusuri jalanan tanpa tujuan, tahu-tahu aku sudah berhadapan dengan gerbang besi tempa rumah sahabatku sang pelukis. Rumahnya lebih mewah dibanding rumah sang komponis. Luas, dan sekilas menyerupai kastil dengan halaman yang seluas lapangan sepak bola. Seorang pelayan membuka rantai gerbang dengan suara berkelontang, membawaku ke studio sang pelukis di bangunan pinggir—lebih besar dibanding rumahku. Kalau siapa pun ingin menemukan sebuah kontras yang paling ekstrem, di sinilah tempatnya: gedung itu istana, sang istri bak permaisuri, tapi sang pelukis tak lebih dari lelaki kurus, bungkuk, hidung bulat, bibir maju, kulit gelap kusam. Tapi itulah, itu, satu lukisannya minimal seratus juta rupiah. Objeknya gadis-gadis cantik molek tanpa busana. Dan ke sinilah aku masuk kalau sedang suntuk.
Tapi kali ini tujuanku bukan memuaskan dahaga penglihatanku. Aku coba menyisir setiap sudut studionya, tapi tak kujumpai Surandil.
“Kamu cari apa to?” Aku tergeragap beberapa kejap.
“Ya… melihat-lihat lukisanmu….”
“Tapi matamu tidak menatap lukisan-lukisan.”
Aku menoleh dan tertawa. Sang pelukis bukan orang yang tepat untuk berdiskusi tentang Surandil.
Jadi, aku memutuskan pergi ke rumah sang novelis. Betul, siapa tahu Surandil sedang berkumpul dengan teman-temannya sesama tokoh fiktif. Aku tahu sang novelis memiliki koleksi tokoh yang tak terhitung. Ia tak suka memakai tokoh yang sama dua kali. Satu judul saja menceritakan puluhan tokoh. Dan ia sudah menerbitkan puluhan novel. Berarti ada ratusan tokoh di sana.
Novel-novelnya bak kue bronis. Laris-manis. Royaltinya ibarat Bengawan Solo, mengalir sampai jauh. Jadi, untuk ukuran Indonesia sang novelis tergolong kaya. Rumahnya tingkat dua, sangat menonjol di antara rumah-rumah di sekitarnya. Mobilnya dua. Meskipun jarang ke rumahnya, aku mengagumi sang novelis karena ia tetap bersahaja.
“Ada angin apa seorang cerpenis berlabuh di sini?”
“Ah, saya bukan cerpenis, baru senang menulis cerpen, dan tahu-tahu sudah terdampar di pelabuhan ini.”
Sang novelis berbalik dari laptopnya, mengangguk-angguk dengan senyumnya yang seteduh pohon beringin.
“Kamu lihat Surandil?”
Kedua alis tebal sang novelis bergerak hendak menyatu. Tapi sejenak menjauh lagi seiring dengan senyum di sudut kanan bibirnya yang lagi-lagi meneduhkan. “Bukankah dia tokoh kesayanganmu?”
“Benar. Aku sedang membutuhkan peran dia.”
Lalu kuceritakan cerpen yang sedang kubuat.
“Hmmm….” sang novelis manggut-manggut macam perkutut. “Mungkin ia tidak menyukai perannya. Mungkin ia ingin menjadi tokoh lelaki muda yang tampan, kaya, rajin shalat, dan punya kekasih perempuan cantik, juga kaya dan serba modern.”
“Sinetron sekali….”
“Bukankah itu yang digemari?”
“Seperti novel-novelmu?”
Sang novelis tertawa.
“Di mana aku harus mencari dia?”
“Tak perlu kamu cari. Tunggulah, dia akan kembali. Rumahmu adalah rumahnya.”
***
PADA malam yang persis sama, gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca, samar-samar terdengar ketukan di pintu rumah. Ketika kubuka pintu, di bidang remang seorang lelaki muncul dengan penampilan yang membuatku terpana: berambut panjang yang diikat di belakang, berbandana hitam, celana jins belel, dan kaus berlogo klub Liverpool bertulisan You’ll Never Walk Alone. Aku merasa tak asing lagi. Aku selalu melihatnya di cermin. Sosok itu adalah diriku sendiri!
“Siapa kamu?”
Lelaki itu memberikan sorot yang menusuk melalui hitam matanya. “Boleh aku masuk?” Aku memberinya jalan meskipun di dada berjejalan tanda tanya.
“Kamu tak mengenalku?” tanyanya sambil melewatiku.
Menguar bau udara basah dari tubuhnya.
“Melihatmu sekilas, aku serasa sedang bercermin. Tapi kamu bukan aku. Aku di cermin tak pernah memiliki raut menyeramkan seperti kamu.”
“Aku Surandil.”
Kalau saja tidak tertahan pintu yang kututup di belakangku, aku pasti sudah terjengkang.
Logika fiksi pun tidaklah berjumpalitan seperti ini. “Tidak mungkin.”
“Kamu tak bisa mengingkari kenyataan yang kamu lihat.”
“Surandil adalah tokoh ciptaanku. Akulah yang bisa menentukan dia mau menjadi apa. Dan aku tak pernah menjadikan dia sebagai aku.”
Lelaki itu tertawa.
Ia menghampiri meja di sudut ruang tengah. Meja dekat jendela kaca yang masih ditampar-tampar dedaunan bugenvil. Ia duduk menyandar sebentar di kursi, lalu memandang layar komputer yang masih berupa bidang putih menyala. Dua jarinya sekaligus menekan tombol CTRL + HOME dan layar memperlihatkan barisanbarisan kalimat cerpenku yang belum tuntas.
Kemudian ditekannya CTRL + H.
Aku menyerbunya. “Apa yang kamu lakukan?”
Tapi tangan kirinya seperti palang besi. Aku tertahan dan hanya bisa menatap layar komputer ketika semua nama Surandil dalam cerpenku itu digantinya dengan namaku.
Kucoba mendorongnya dari kursiku. Tapi aku merasakan kekuatan yang lebih dahsyat ketika aku malah terjengkang dan bagian belakang kepalaku menghantam tembok.
Mungkin sejenak aku kehilangan kesadaran. Ketika kubuka mata, tiba-tiba aku berada di sebuah lembah yang basah di kaki sebuah gunung. Gunung Salakkah?
“Akhirnya kamu datang juga.”
Aku berbalik. Di hadapanku menjega sosok lelaki berbaju dan celana hitam komprang dengan golok panjang di pinggang. (*)
 .



6.

Lantai 9, Malam-malam

Cerpen Budi Maryono (Suara Merdeka, 5 Juni 2011)
RE menyusupkan foto La di bawah bantal. Sebenarnya, satu jam belumlah cukup untuk menikmati senyum perempuan yang memberi dia cinta tanpa syarat dan dua anak manis itu. Tapi Re tak mau terhajar gelisah karena rindu. Rindu pada masa lalu yang acap menggapai-gapai. Rindu pada pagi yang riuh, siang yang gaduh, serta malam-malam tukar napas dan peluh.
“Sebelum bertemu denganmu, aku tak percaya ada laki-laki yang sedemikian penuh cinta hingga membunuh hasrat sendiri untuk melukai,” kata La pada malam pertama yang kemudian lewat tanpa percik darah.
Re tersenyum dengan dada terbusung. Tak sia-sia selama ini dia mengoleksi aneka topeng dengan berbagai ekspresi. Bukan topeng kayu, apalagi tembaga, melainkan topeng kulit yang bisa amat melekat ketika dia pakai hingga tak memerlukan tempat penyimpanan khusus selain wajahnya. Cermin pun tak tahu, apalagi La.
“Sebelum bertahun hidup bersamamu, aku ragu ada laki-laki yang sedemikian penuh sayang hingga membunuh hasrat sendiri untuk mengembara malam-malam,” kata La pada entah malam keberapa setelah keduanya masyuk bercinta.
Re tersenyum dengan dada agak sesak. Cermin yang selama ini baik-baik saja, tadi pagi tiba-tiba meretak. Dia curiga, kaca pemantul itu mulai bisa melihat seringai di balik berlapis-lapis topeng di wajahnya. Atau, ini yang membuat dia teramat waswas, selapis dua lapis topeng itu telah mengelupas terkikis angin malam nan beringas.
“Ternyata kau bukan laki-laki yang berbeda. Hanya anak-anak yang membuatmu masih mau pulang, itu pun cuma badan. Hati dan pikiranmu tak pernah turut ke rumah. Selalu tertinggal entah di mana, di hati dan pikiran entah siapa….” kata La pada sebilah dini hari sebelum mereka bertengkar hebat dan berkeputusan pisah ranjang.
Re kehilangan senyum dengan dada nyaris meledak. Tak hanya cermin sekarang, bola matanya pun meretak. Hampir tak ada lagi yang bisa dia sembunyikan dari rasa La. Rasa yang kian lama kian tajam saja serupa pisau yang dipakai oleh para penjagal untuk membeset kulit binatang. Satu sesetan lagi, Re pasti telanjang.
“Kini aku sangat yakin, laki-laki dan cinta tidak punya hubungan darah. Kau pun tak terkecuali. Maka nikmatilah kelelakianmu sendiri!” kata La yang kemudian berjalan menjauh dari rumah bersama dua buah hati mereka, Lu dan Ka.
Re meledak. Berkeping-keping.
***
RE memutuskan untuk keluar dari kamar hotel yang dia tinggali tiga hari ini. Ke mana? Tak tahu dia. Saat jiwa payah karena kerja dan hanya kerja, yang terpenting memang bukan pergi ke melainkan keluar dari. Setelah menutup pintu dan memasukkan kunci ke dalam saku, dia berjalan lambat di lorong hotel yang mati, tak ada kehidupan sama sekali. Lantai 9 yang lengang. Teramat lengang.
Sampai kemudian Re mendengar suara batuk-batuk kecil. Perempuan! Dia lihat jam tangan berwarna cokelat legit: 11.45. Hampir tengah malam.
“Mau ke mana dia?” batin Re meski belum melihat sosok perempuan itu.
Ketika hampir sampai lift, barulah dia tahu, perempuan itu tak hendak ke mana-mana. Hanya membaca komik atau mungkin malah novel grafis di sofa dekat lift sembari merokok.
Perempuan itu mendongak, menatap Re, tersenyum, dan kembali ke bacaan. Re hanya sempat membalas senyuman itu sekilas dengan anggukan. Dia pencet tombol lift, ke bawah. Begitu pintu terbuka, cepat-cepat dia masuk. Namun sebelum pintu menutup dan lift bergerak turun, dia lempar kerlingan. Sama. Ternyata sama. Perempuan itu juga mengerling padanya. Batuk-batuk karena tersedak asap rokok, namun tak kehilangan senyum yang pada malam di mana dan kapan pun pasti menggoda. Maka melekatlah senyum itu di benak Re.
“Kau selalu begitu! Tidak pernah tak tergoda, bahkan oleh senyum basa-basi belaka!” Bukan. Kali ini bukan suara La pada suatu ketika. Itu suara hati. Suara yang muncul setiap kali Re ingin atau hendak berpaling dari rumah. Dan seperti biasa, Re mengabaikannya. Karena itu dia mengubah arah. Bukan lagi pergi entah ke mana melainkan hanya sampai di teras hotel, berdiri sejenak untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara malam, dan kembali ke lantai 9.
Angka 5 menyala.
Thing!
Pintu lift terbuka. Seorang perempuan dengan rambut sedikit acak-acakan masuk, tersenyum, berdiri persis di sisi Re. Parfum yang sangat maskulin melabrak hidung. Re ingat aroma itu. Aroma kemarin malam. Aroma yang membangkitkan keisengan hingga dia dan perempuan itu berciuman tanpa tujuan. Malas berbincang tapi sama-sama ingin membunuh waktu luang dari lantai 5 sampai lantai 9. Begitu pintu lift terbuka, keduanya keluar dan berjalan ke arah berlawanan. Re ke kiri, perempuan itu ke kanan. Tak pernah saling kenal, seolah tak pernah pula berciuman.
Hasrat yang sama tak muncul lagi malam ini karena Re telah terpikat senyum perempuan yang sedang membaca komik atau mungkin novel grafis sambil merokok di dekat lift lantai 9. Senyum yang baginya jauh lebih menggoda ketimbang kenikmatan ciuman tanpa tujuan. Saat perempuan berparfum sangat maskulin itu mengubah posisi badan, tidak lagi bersisian tapi berhadapan, Re menahan diri kuat-kuat agar kejadian kemarin malam tak terulang.
“Sedang jatuh cinta rupanya?”
“Ya,” jawab Re, namun buru-buru meralat, “Ah, belum. Baru tergoda. Terpikat.”
“Hebat!”
Re berkerut kening.
Seraya merapatkan badan, perempuan itu melanjutkan, “Kau hebat. Belum jatuh cinta, sudah setia. Bahkan tak mau mengulang ciuman yang tidak punya arti apa-apa selain membunuh waktu luang.”
Re tertawa lirih dan mundur setelapak. “Aku tidak sedang setia,” katanya, “Aku hanya sedang menahan diri demi kenikmatan atau semogalah juga keindahan yang lebih.”
Giliran perempuan itu yang tertawa, juga lirih, lalu dengan sedikit jinjit dia desahkan kata-kata ke telinga Re, “Harapan bisa semenawan sekaligus serapuh gelembung sabun. Kita tiup pelan-pelan, ia terbang dan memantulkan cahaya aneka warna. Namun sekali terbentur, ia pecah dan kembali menjadi air bersabun. Jika nasib sedang buruk, mungkin saja memercik dan memedihkan mata.”
“Amsal yang bagus. Sayang, nasib buruk adalah teman lamaku.”
Perempuan itu tersenyum sinis, mengubah posisi kembali bersisian. Dua-duanya diam menunggu pintu lift terbuka di lantai 9.
Thing!
Perempuan yang tadi membaca komik atau mungkin novel grafis sambil merokok itu kini sudah berdiri, tersenyum sangat lebar dan merentangkan tangan, kemudian memeluk perempuan berparfum sangat maskulin yang melompat keluar. Dalam saling peluk itu, dia tatap Re yang takjub hingga pintu lift kembali menutup.
***
TIDAK ada pilihan. Tidak ada keputusan. Re hanya diam membiarkan waktu merambat bersama lift yang bergerak naik hingga lantai tertinggi dan berhenti. Saat pintu terbuka, matanya bertabrakan dengan mata bulat dua bocah kembar berpipi bakpao dalam lukisan di dinding. Sama bulat dengan mata Lu. Sama bulat dengan mata Ka. Yang beda, mata kedua bocah dalam lukisan itu sangat cerah, sedangkan mata Lu dan Ka saat pergi bersama ibu mereka begitu berkabut.
Dua bocah kembar dalam lukisan itu tersenyum bersama. Re terperangah. Dia kucak-kucak mata. Tetap saja. Bulu kuduknya meremang. Reflek dia pencet tombol untuk menutup pintu lift. Dia pencet juga angka 9 sembari tergesa berdoa semoga ini hanya halusinasi, semoga waktu tidak berhenti. Dia melepaskan napas lega dan menyandarkan badan ketika lift bergerak turun.
Thing!
Pintu lift terbuka.
Re terkesiap.
Dua hari lalu, kemarin malam, pun tadi ketika dia turun dan naik lagi, yang terpajang di dinding lantai 9 seberang lift itu lukisan dekoratif hijau rimbun dedaunan berhias bunga-bunga kecil aneka warna. Kenapa kini berubah menjadi dua bocah kembar berpipi bakpao bermata bulat cerah dan tersenyum? Ya, sama persis dengan lukisan di lantai tertinggi. Kembali Re mengucak mata. Tapi tetap saja.
Dia melangkah keluar dari lift dan belok kiri. Bergegas seolah bisa mendahului waktu. Yang memenuhi kepalanya sekarang hanya kembali ke kamar 909, menyeduh kopi dengan gula merah (dua-duanya instan), lalu nonton televisi. Apa saja yang tertayang di televisi. Iklan, film, berita, talkshow, sepak bola, siaran-ulang diskusi, tausiah, atau lelang BB oleh perempuan-perempuan (sok) seksi yang menjerat mangsa dengan pamer paha dan sembulan dada.
Re membuka pintu kamar.
Masuk.
Tersedak.
Bersamaan dengan debam pintu yang kembali tertutup, Re melihat La sedang membaca buku di atas ranjang, diapit Lu dan Ka yang telah lelap. Bukan ranjang hotel tempat dia menginap atas nama sebuah kantor berita melainkan ranjang mereka di rumah. Bagaimana mungkin? Gugatnya dalam ketersedakan. Gugatan itu membentur tebing gema ketika Re melihat dan menyadari, kamar yang baru saja dia masuki pun bukan kamar hotel melainkan kamar dia dan La di rumah.
Re terperangkap.
Sesak napas.
Megap-megap.
Karena tak ingin mati tiba-tiba, Re balik badan, tergesa-gesa membuka pintu kamar, tergesa-gesa pula keluar.
Dia menoleh ke kiri dan kanan. Lorong panjang nan lengang. “Ini hotel!” desisnya. “Masih hotel….”
Re bersyukur seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk yang menggelisahkan dan melelahkan. Saat itulah lamat-lamat dia mendengar suara batuk-batuk kecil. Perempuan! Ah, pasti perempuan yang membaca komik atau mungkin novel grafis sembari merokok. Tapi mendadak dia ingat perempuan berparfum sangat maskulin, ingat juga bagaimana dua perempuan itu saling peluk dan berjalan menuju kamar 9… entah berapa.
Lalu siapa yang mengeluarkan suara batuk-batuk kecil itu sekarang? Re berjalan tetap, namun lambat menuju lift. Sekitar 50 meter sebelum sampai, dia melihat dari belakang seorang perempuan sedang duduk di sofa dekat lift, membaca atau menulis di notebook, dan merokok. Maju tiga langkah lagi, dia tergeragap karena mengenali bentuk tubuh dan cara duduk seperti itu. La!
Ya, begitulah La jika sedang duduk, membaca atau menulis, di sofa: kaki bersila, notebook di pangkuan. Persis! Tapi La, istrinya, tidak merokok. Tidak pernah pula menginap di hotel kecuali bersamanya. Sontak dia tersadar sedang memasuki lorong mimpi buruk (lagi). Secepat mungkin dan sekuat tenaga dia berbalik, namun terlambat. Perempuan itu menoleh dan keduanya bersitatap.
“La?”
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum.
Re tercekik.
***
KUMATIKAN dan kututup notebook di pangkuan. Kucecap sisa kopi pahit yang menemaniku semalaman. Kuisap rokok terakhir yang tinggal sebuku jari lalu kusundutkan ke asbak hingga tumpas. Kenikmatan puncak terpuncak menjalari seluruh tubuhku. Benar-benar puas rasanya bisa membuat Re terkesiap, tersedak, terperangkap, dan tercekik.
Berkali-kali aku tergoda untuk membunuhnya tapi berkali-kali pula godaan itu kusingkirkan. Seberapa berkobar pun kesumat dalam dadaku, mati tetap terlalu simpel untuk Re, terlalu ringan, tidak menyiksa, tidak sepadan dengan apa yang dia lakukan terhadapku. Bertahun-tahun. Bahkan cuma dalam fiksi sekalipun. Jadi biarlah dia tercekik begitu. Selamanya.
Oh, iya, maaf…hampir lupa.
Namaku La. (*)









7.
Cerpen Indah Darmastuti (Suara Merdeka, 12 Juni 2011)
ANDAI aku Nabi Musa yang memiliki tongkat terberkati dengan kuasa, aku akan mengacungkan tongkat ini membelah laut itu hingga kering barang empat depa dari ujung dermaga sini sampai ujung daratan sana. Ombak pecah, gulungannya akan menyibak ketika angin yang didatangkan dari acungan tongkatku mengiris triliunan kubik air, bagai membelah agar-agar. Angin itu menyerbu laksana serdadu.
Kuda laut serta ikan-ikan yang tak tanggap pada sesuatu yang sedang terjadi, akan menggelepar-gelepar dalam pasir kering lautan yang pecah. Lalu hiu-hiu tercengang. Kura-kura gelagapan. Cumi, pari, dan si kecil Nemo pasti tercengang-cengang menyaksikan bagaimana dunianya terbelah—menyisih oleh tongkat saktiku. Terumbu karang tersentak dan lantak. Kapal-kapal terjungkal, polisi-polisi laut akan pontang-panting dengan napas tersengal menyaksikan peristiwa dahsyat itu.
Lalu kuperintahkan segera para perempuan yang pernah digiring di pesisir ini, untuk lekas angkat kaki. Berlari, meninggalkan tempat-tempat pembusukan. Tempat darah dan nanah berada dalam satu mangkuk ketakberdayaan.
Lalu aku akan mengangkang, mengadang penyusul yang berani menggagalkan setiap selinap para perempuan itu. Tongkatku yang ajaib akan menahan air supaya tetap menyingkir hingga pelarian para pemegang hak merdeka itu berakhir. Di sana, di daratan seberang sana.
Tetapi nyatanya justru aku atau mereka yang lari tunggang-langgang ketika tongkat Mong teracung menghalau kami. Tentang laki-laki itu, nama sebenarnya Winarto atau Witarto, aku kurang tahu. Tetapi kami yang ada di tempat ini memanggilnya Mong. Maksudnya bukan tukang momong walau sebenarnya dia yang ditugaskan entah oleh siapa untuk menggembalakan kami.
Barangkali kata menggembalakan kurang tepat, karena terkesan anggun dan damai. Karena gembala yang aku tahu, ia akan membawa sekumpulan gembalaannya untuk menuju ke tempat yang melimpah makanan dan kemerdekaan.
Tetapi menggembalakan bisa jadi tepat karena kata itu memang pantas untuk hewan. Dan di sini kami telah dihewankan. Tugas Mong adalah mengawasi kami. Menghalau kami jika membangkang atau tertalu menuntut. Menghardik kami, persis menghardik hewan. Atau mungkin “Mong” yang dimaksud oleh pemberi nama kali pertama itu adalah macan. Kalau sebutan yang ini aku rasa cocok untuk dia. Karena dia menggeram, mengancam dan menakut-nakuti kami dengan bermacam hukuman untuk bermacam pelanggaran.
Tongkat Mong sudah memakan korban. Ketika Nia, bukan nama sebenarnya, nama sebenarnya adalah Ainun, tetapi ia merasa kalau nama Ainun terlalu indah untuk dianiaya di tempat ini. Nah, si Nia menolak untuk diperiksa dokter. Alasannya jelas, meski kurang masuk akal: ia bertekad untuk mempertahankan penyakit kelaminnya.
Mong mengancam akan membuangnya ke laut, tetapi Nia tidak takut. Tak takut kalau tubuhnya akan menjadi santapan hiu atau ubur-ubur gendut, itu jauh lebih menyenangkan daripada pukulan tongkat Mong yang lebih berarti sebagai penghinaan. Ia tak takut mati. Karena bagi Nia hidup sudah tak lagi layak untuk dijalani. Tetapi bunuh diri baginya adalah tindakan pengecut. Sementara ia sesumbar tak pernah mau menyerah pada apa pun yang terjadi dalam hidupnya. Ketika dia didakwa bahwa penolakannya untuk diperiksa dokter adalah tindakan bunuh diri, ia menolak. Sebab yang ia lakukan adalah menamengi diri agar ia tak lagi ditugaskan untuk digumuli laki-laki, yang merupakan tugas utama perempuan yang digelapkan di sini.
Tongkat Mong bukan gertak sambal. Sebab Nia nyatanya babak belur.
Juga Gita. Ia melakukan mogok makan berhari-hari. Tak pelak tubuhnya lemah dan membuat Mong susah. Gita tahu Nia lumat oleh tongkat Mong, tetapi ia juga tak takut tongkat Mong akan membabakbelurkan sekujur tubuh. Yang ia takutkan adalah malam. Kendati taburan bintang telah menumbuhkan rindu pada para sanak di kampung, ia hanya sanggup mencuri-curi lihat. Bukan benda-benda itu yang ia takutkan, tetapi malam. Ketika matahari terpanah lalu rubuh rebah di laut yang selalu gundah. Lalu bulan muncul. Hati Gita menggigil. Sebab sebentar lagi ia akan dibuat pasang naik oleh nasib.
Pasang naik. Persis seperti yang diakibatkan oleh bulan yang setiap malam terus berdebat dengan bumi hingga mengguruhkan gelombang pasang. Gelora, menggelora yang akan membawa nelayan-nelayan pada situasi antara hidup dan mati. Dan pelaut-pelaut pengecut akan bergetar lutut.
Gita benci malam. Ketika matahari rubuh rebah dan bulan mengejarnya tanpa lelah. Ketika terus menerus gelombang pasang menuliskan sejarah perempuan yang telah digiring di tempat ini.
Jika kau melihat apa yang telah dicacat oleh gelombang dalam buku kunonya tentang sejarah perempuan-perempuan itu, yang bisa kaubaca adalah sejarah penyesalan dan ketidakberdayaan.
Dan kisah Gitalah yang paling panjang mengisi halaman-halaman buku gelombang. Gita juga bukan nama sebenarnya. Nama sebenarnya adalah Widuri. Jika ditanya mengapa ia mengganti namanya dengan Gita, ia menjawab: “Adalah nama orang yang telah menyebabkan aku berada di sini.”
Kututurkan kisahku ini berdasarkan yang ditulis gelombang tentangnya. Bahwa ia berasal dari sebuah kampung kecil di Jawa. Ketika perekrutan tenaga kerja wanita sedang marak di negeri ini, adalah Sagita, sahabat yang telah dulu tinggal di Jakarta menawarinya untuk bekerja. Macam-macam yang ditawarkan padanya dari kerja di pabrik sepatu, penjaga toko, kapster salon, garmen juga di restauran.
Maka berangkatlah Gita, maksudku Widuri, ke Jakarta bersama Sagita sang sahabat terpercaya, dengan kereta penuh desak dan derak. Di dalam tasnya hanya ada beberapa potong pakaian dan roti merk kelas menengah ke bawah itu. Oleh sang sahabat ia dicium dengan tatapan penuh arti lalu dikenalkan pada orang-orang yang sudah terbiasa mengurus dan menyalurkan tenaga kerja. Ke Hong Kong, Emirat, Malaysia atau mana saja yang tahu pasti bahwa di sini harga manusia amatlah murah.
Ia ditampung bersama puluhan perempuan di sebuah tempat. Dan mulailah Gita alias Widuri menjalani hari-hari mengagetkan. Kadang seperti bermain kartu, kadang seperti bermain congklak atau petak umpet. Yang pasti semua adalah permainan. Macam-macam permainan yang mesti dengan bagus dimainkan.
Perempuan menumpuk, seperti barang over produksi. Dipaksa menjadi petarung bukan hanya dengan diri dan nasibnya, tetapi juga dengan sesamanya. Tahulah ia bahwa keberadaannya di tempat itu tak ubah ternak yang menunggu giliran untuk dibawa ke tempat jagal.
Ia akhirnya tahu bahwa dirinya adalah calon babu. Tak kunjung mendapat kerja, ia memprotes sahabatnya, hingga akhirnya dikirim di sini, di tempat ‘kering’ yang didindingi lautan. Di pesisir yang namanya disebut oleh penduduk setempat dengan nada nyinyir.
Di sini, di tempat ini tak terlalu jauh dari pelabuhan. Para awak kapal akan turun setelah melewati banyak malam bertarung dengan gelombang. Menyisir lautan pasir dan menuju tempat ketegangan akan terusir.
Rok, rokok, hingga ayam berkokok, mereka masih menimang-nimang borok. Widuri salah satunya sejak sang sahabat mengirimnya ke tempat ini. Jadi kurasa pantaslah ia merasakan sesal dan pedih tetapi tak bisa ia melupakan begitu tikaman sahabatnya yang telah membuat ia tercacah setiap hari, maka ia memakai nama Gita sebagai prasasti kehancuran sejarah hidupnya.
Silakan tanya pada gelombang laut Sulawesi yang telah mencatat gelak tawa nihil yang terburai dari bibir mungil sang Gita. Maka ia akan menjawabmu dengan igauan sawah sepetak dan rumah kecil di antara rumpun-rumpun bambu. Sejumlah uang untuk menebus otak para guru yang menjadi hak adik-adiknya. Sejumlah uang untuk menebus lapar, yang lupa bagaimana rasa segenggam beras kemerdekaan.
Gita benci malam. Saat cawan-cawan menunggu anggukannya sebelum berlalu. Cawan yang terisi dengus mampus dari paru-paru yang aus. Lalu merenda waktu menunggu fajar yang terlalu payah untuk meluruhkan setiap borok, untuk dilabuhtitipkan pada gelombang biar mengantam kapal-kapal yang membawa awak, yang hanya memiliki moncong pistol tanpa tawaran pengharapan, apalagi cinta.
Mengemas bau malam yang berceceran di kolong ranjang, lalu menebarkannya di sepanjang jalan pulang di tempat mana ia harus melaporkan berapa takar keringat yang keluar. Berapa janji yang akan terulang dan diulangi. Laki-laki dan para lelaki. Pelaut-pelaut sepi yang mentah menghadapi hari-hari.
Gita benci malam. Gelombang sungguh tahu itu. Ia satu di antara puluhan bahkan ratusan mimpi yang tergadai. Menjadi babu di luar negeri barangkali akan sama resah dengan menjadi babu di negeri sendiri. Mencoba menegakkan diri berdiri di atas kehormatan yang terlanjur disangsikan betapa tak mudahnya.
Takut mendamba cinta yang akan membuat hatinya berdesir seperti pasir-pasir di pesisir.
“Kau hanya pemain cadangan. Dan hanya mukjizat yang sanggup mengubahmu menjadi pemain inti. Lupakanlah!”
“Tetapi aku telanjur mencintai kamu, dan amat menyintaimu,” tegasnya pada pada para lelaki.
“Apa pun yang kauminta akan kuberi. Tentu selain pernikahan.”
Tak ada benang waktu yang harus ia pintal seperti Penelope menenun harapan menunggu kepulangan Odysseus. Tak ada yang harus diulur, ditarik, sebab semua akan menjadi sia-sia. Karena setiap saat tongkat Mong akan mengadang, mendobrak kamar dan menggeledah siapa tahu menemukan cinta yang ia sembunyikan di kolong atau di bawah bantal.
Aku pernah mengalami yang dirasakan Gita. Tetapi aku sudah bersekongkol dengan gelombang yang telah mencatat sejarahku, agar ia sembunyikan tentang siapa aku. Tetapi baiklah aku beri tahu sedikit kalimat, sedikit saja, lalu silakan kaucemooh jika memang aku pantas mendapatkan. Bahwa aku tak pernah pintar bermain di kamar. Para lelaki yang pernah menyewaku akan berakhir uring-uringan dan protes pada Mong. Tak ada lagi pemesan sehingga pantasku adalah menjadi tukang sapu dan tukang cuci baju. Selanjutnya sepiku akan kupenggal dengan menyantap majalah-majalah usang atau buku-buku yang ditinggalkan pelanggan.
Dengan gagang sapu yang panjang aku mencoba bersihkan setiap lelehan duka dan pedih perih para perempuan itu. Banyak yang mengatakan aku perempuan beruntung sementara aku menganggap diriku buntung. Dengan keranjang sampah kutampung air mata mereka, yang semoga bisa berubah menjadi permata.
Nia dan Gita, yang baru saja kutampung air matanya. Kuusap wajahnya dengan sabut sapu ijuk yang ungu. Seperti warna jubah Isa ketika bersimpuh di antara popok-pokok zaitun dalam gigil yang dilalui sekali dalam hidup-Nya. Tetapi kurasa Nia dan Gita lebih gigil. Manakala harus berjalan getir di atas pasir pesisir. Melewati malam-malam Getsemani setiap hari, dan esoknya adalah pembantaian.
Mereka tahu, andai kuangkat tongkat sapu yang kugenggam ini, tak akan membelah lautan sehingga tak akan menjadikannya pelarian. Tetapi tongkat ini akan membuat mereka menjadi kunang-kunang, meski pucat dan patah sayap. Terjaga mimpikan merdeka. (*)













8.

Siapakah yang Menyuruh Kita Memukul Lesung?

Cerpen Sunaryono Basuki Ks (Suara Merdeka, 19 Juni 2011)
SIAPAKAH yang menyuruh kita memukul lesung saat terjadi gerhana dan meneriakkan kata-kata yang tak masuk akal?
Mengapa tidak meneriakkan, “Gerhana! Gerhana!” Orang-orang malahan memukul lesung. Kata mereka, untuk mengusir raksasa agar tidak jadi menelan bulan. Berapa besarkah raksasa itu sampai mampu menelan bulan yang demikian besar? Pastilah raksasa itu lebih besar dari besar bumi ini. Alangkah banyak yang disantap sehari-hari atau kalau raksasa hanya makan sebulan sekali, alangkah banyak makanan yang harus disantap? Apa dia juga harus mengisap air sungai atau danau untuk melepaskan dahaga? Mustahil ia mau minum air laut yang pasti akan membuatnya lebih dahaga, sebagaimana para nelayan yang terayun-ayun gelombang laut berhari-hari tetap akan berupaya mencari air tawar untuk melepas dahaga. Air laut akan menambah dahaga. Tenggorokannya terasa kering.
Pasti ada yang membocorkan rahasia soal memukul lesung saat raksasa nyaris menelan bumi. Tetapi sekarang ini? Di kota tak ada lesung. Di desa pun, lesung sudah tersingkir dari rumah-rumah. Sebab padi tidak lagi ditumbuk di lesung tetapi dibawa ke penggilingan dan digiling dengan mesin slep. Apakah bila terjadi gerhana mesin slep harus dibunyikan? Apakah memang kuncinya pada padi yang harus ditumbuk? Tetapi saat membunyikan lesung, orang tidak menumbuk padi. Mereka hanya memukul dasar dan dinding lesung dengan irama tertentu. Irama itu yang akan mengusir raksasa agar batal menelan bumi. Namun, kenyataannya, biar sejuta lesung dipukul bersama-sama, gerhana tetap saja berlangsung. Bumi ditelan kegelapan dan kemudian pelahan akan dimuntahkan kembali oleh kegelapan.
Kegelapan? Apakah raksasa sama dengan kegelapan? Secara kiasan memang sifat keraksasaan disamakan dengan kegelapan. Hati yang gelap yang tak menemui sinar lilin, cahaya ilahi.
Dulu, pada masa lalu, saat masih dipakai banyak orang, lesung dibunyikan untuk memberi tahu bahwa seseorang akan menyelenggarakan upacara tertentu. Ada hajatan, apakah itu pernikahan atau khitanan. Lesung pada saat khusus ini merupakan alat komunikasi bukan alat produksi. Tetapi masih juga tersimpan rahasia, siapa yang memberi tahu raksasa takut pada bunyi lesung?
Inilah kisahnya jika kamu percaya: …Pada zaman duhulu kala, dahulu entah kapan, hiduplah raksasa sendirian di sebuah taman yang indah. [*]
Karena taman itu indah, penuh bunga dan pohon buah-buahan yang berbuah lebat, maka anak-anak pun suka berkunjung ke taman tempat tinggal raksasa itu. Raksasa itu tak tahu bahwa banyak anak-anak yang bermain di taman sebab mereka selalu bersembunyi di balik semak bilamana raksasa muncul. Lama kelamaan raksasa merasa curiga sebab buah-buahan di tamannya berkurang dan bunga-bunga pun nampaknya sudah dipetik. Anak-anak senang memetik bunga sebagai oleh-oleh untuk ibu mereka, yang selalu sangat gembira menerima hadiah bunga-bunga itu. Melihat ibu mereka gembira, maka mereka makin rajin memetik bunga untuk menyenangkan hati ibu mereka.
“Apakah yang bisa kita berikan untuk membalas kebaikan Ibu? Bukankah Ibu yang melahirkan kita, menyusui kita, mengganti popok kita, dan saat kita sudah menjadi bocah, masih juga mencuci pakaian kita, menjemurnya dan menyetrikanya agar rapi. Kukira hadiah berupa bunga tidak seberapa untuk membalas kasih Ibu.”
Tetapi tidak demikian dengan raksasa. Bunga-bunganya yang berkurang dan juga buah-buahan yang jumlahnya menyusut membuatnya heran.
“Siapakah yang berani mencuri bunga-bungaku?”
Lalu, pada suatu hari raksasa itu meneriakkan pikiran, “Siapakah yang berani mencuri bunga-bungaku?”
Suaranya bergetar, menggetarkan taman dengan luar biasa, sampai bunga-bunga dan buah-buah pun gugur ke tanah. Anak-anak yang bersembunyi di balik semak gemetar sebagaimana tanaman-tanaman itu pun bergetar. Mereka yakin raksasa telah mengetahui perbuatan mereka.
Dan Naila, gadis kecil yang paling elok merasa bahwa dia harus minta maaf, sebab dia yakin sejahat-jahat raksasa pasti akan memberinya maaf jika dia memang minta maaf dengan tulus. Naila bergerak hendak keluar dari persembunyian, tetapi Dedi yang paling besar memegang tangannya.
“Mau kemana kau?”
“Minta maaf,” katanya.
“Jangan! Nanti kamu dimakan.”
“Aku boleh dimakan sebab memang sudah bersalah mencuri bunga-bunga dan buah-buahan. Tetapi demi kasihku pada Ibu, aku rela.”
Walau mereka hanya berbisik ternyata sang raksasa mendengar pembicaraan mereka.
“Siapa kalian, ayo keluar!!!” teriak sang raksasa.
Dengan gemetar mereka keluar dari tempat sembunyi mereka. Mereka bersepuluh. Naila paling depan dan Dedi paling belakang.
“Hua hua huaaa!” tawa raksasa.
Daun-daun pun bergetar dan gugur berhamburan.
“Kalian anak-anak pemberani. Kenapa kamu berani mencuri bunga-bunga dan buah-buahanku?”
Tak seorang pun dari mereka berani menjawab. Hanya Naila tanpa tubuh bergetar menjawab, “Maaf, Bapak Raksasa….”
“Ha ha ha, Bapak…?”
“Atau Om Raksasa…?”
“Kamu kira aku masih muda? Umurku sudah ribuan tahun tetapi aku tak bisa mati….”
“Jadi aku panggil Kakek Kakek Kakek Raksasa saja ya?”
“Oh, kamu lucu…. Siapa namamu?”
“Naila….”
“Kenapa kau berani mencuri dari kebunku?”
“Maaf, Kakek Kakek Kakek. Aku ingin membalas budi pada ibuku. Ibu sangat menyukai bunga dan buah yang kuambil dari sini.”
“Bodoh! Membalas budi dengan mencuri.”
“Maafkan saya Kakek Kakek Kakek….”
“Kamu jujur, Naila. Kamu harus minta izin padaku.”
“Tapi kami takut kalau Kakek Kakek Kakek memakan kami….”
“Ha ha ha. Aku tidak makan daging. Aku hanya makan buah dan mencium harum bunga. Karena itu umurku panjang. Kalau mau berumur panjang tirulah diriku, jangan makan daging sebab daging membunuh tubuhmu dengan berbagai penyakit….”
“Baiklah, terima kasih….”
“Tunggu!” lalu direngkuhnya Naila di dalam tangannya yang kokoh. Ke dalam telinganya sang Raksasa membisikkann sesuatu. Teman-temannya tidak tahu apa itu, dan tidak segera diberitahu.
Sebetulnya inilah yang dikatakan raksasa itu:
Pada saat-saat tertentu tubuhku membesar dan membesar dan menjadi sangat besar sampai lebih besar dari bumi ini. Dan pada saat itu aku sangat ingin menelan bumi. Aku hanya merasa takut pada satu hal: bunyi pukulan pada lesung, sebab pukulan itu mengingatkanku pada ibuku yang suka memukulku dengan alu dan menampar-namparkan kepalaku pada lesung sebab aku sangat nakal dan tak pernah menuruti perintah Ibu dan tak pernah pula menyenangkan Ibu. Karena itu, kau Naila, yang mencintai dan menghormati ibumu, kuberikan rahasia ini. Sampaikan rahasia ini pada ibumu dan teruskanlah beritanya pada ibu-ibu yang lain.
Itulah sebabnya mengapa orang-orang memukul lesung saat gerhana bukan memukul kentongan, sebab beritanya disampaikan oleh ibu Naila, dan lesung hanya dipukul oleh perempuan, bukan laki-laki yang biasa memukul kentongan.
“Percayakah kau pada dongeng ini?” tanya lelaki tua yang dihadapi oleh sepuluh anak-anak yang setiap purnama mendongengkan kisah yang menarik pada anak itu…. (*)















9.

Sum

Cerpen GM Sudarta (Suara Merdeka, 26 Juni 2011)
POHON kihujan itu masih kokoh tegak di sudut taman. Batangnya hampir dua pelukan orang dewasa. Daunnya masih rimbun meskipun beberapa dahan sudah rapuh. Di bawah pohon itulah sepuluh tahun lalu terdapat sebuah warung kopi, yang kini hanya tinggal bekas kulit batang bekas terbakar yang dulu mungkin tempat kompor minyak penjerang air. Masih terbayang jelas ingatanku akan pemilik warung yang berwajah bulat telur dan lesung pipitnya.
***
AKU mengenal dia di sebuah warung kopi kumuh itu, pada waktu masa muda. Setiap pulang kerja, aku kerap singgah di warung yang terletak di pinggir sudut taman di kawasan selatan Ibu Kota ini. Sebetulnya tidak lagi disebut taman sebagaimana taman yang ada di Jakarta ini. Lebih tepat disebut sebagai lahan pasar loak barang bekas apa saja, dari pakaian, radio, onderdil motor hingga barang pecah belah. Beberapa pohon angsana masih bisa untuk berteduh di sana-sini.
Adapun warung kopi itu pun tak juga bisa disebut warung melainkan bedeng dari beberapa lembar dinding bambu dipasang seadanya, ditopang kayu bangunan bekas dengan atap sisa-sisa seng gelombang, di bawah keteduhan pohon kihujan yang rindang.
Perlengkapan warung hanya sebuah cerek kaleng lumayan besar, wajan penggorengan, kompor minyak tanah yang sudah menghitam, rak kayu dengan gelas berjejer, dan bebarapa kaleng berisi susu, bubuk kopi dan teh, serta setumpuk bungkusan mi instant. Di meja selalu tersaji, kaleng kerupuk, pisang goreng, tahu pong, dan yang mambuat saya selalu ketagihan adalah tempe bacemnya.
Pemilik warung itu adalah seorang wanita setengah baya dengan sisa-sisa kecantikan yang masih tampak meskipun dipenuhi garis-garis wajah yang mencerminkan goresan kehidupan yang keras. Hanya sisa lesung pipit yang masih tampak segar, yang tak lepas setiap menyajikan kopi kepada pelanggannya.
Belakangan baru aku tahu namanya tanpa kutanya.
“Mas pasti asalnya sama dengan kota kelahiran saya, ya?” tanyanya suatu kali, seraya menyodorkan kopi dan sepiring mi instant rebus. Aku kaget, sampai sedikit tercekik mi rebus.
“Kok tahu?” tanyaku kembali tak acuh.
Kemudian dia duduk di sampingku.
“Sum tahu dari orang-orang pedagang barang bekas itu lho…,” ujarnya dengan menyebutkan namanya sendiri.
Kemudian setengah berbisik, “Mereka pernah melihat Mas di sana. Bahkan ada yang tahu mas lahir di sana.”
“Mas harus hati-hati,” tambahnya dengan mendekatkan wajah, “mereka curiga Mas adalah mata-mata pemerintah.”
Aku terhenyak, sampai tersedak, air kopi nyangkut di tenggorokan.
Memang aku sering merasa ada tatapan aneh mereka kepadaku, meskipun aku mencoba menegur sapa dengan tulus kepada mereka. Sementara ini aku mengira mereka adalah para tunawisma dan pemulung yang banyak bermukim di bantaran sungai atau rel kereta.
Dan aku menyenangi tempat ini untuk ngopi dan sekadar istirahat sebelum pulang ke pondokan. Karena tempat inilah yang aku rasa paling sesuai dengan tingkat kerjaku yang hanya sebagai pesuruh di sebuah kantor, meskipun aku juga pernah mengenal bangku kuliah selama setahun.
Kadang kala setiap aku berkunjung ke warung ini, dan melewati kios dan jajaran para pedagang, terpercik dalam ingatan masa kecilku ketika bertatapan dengan beberapa orang di antaranya. Adakah mereka ini yang pernah aku kenal atau teman sepermainanku waktu itu? Setelah dua puluh tahun lebih aku meningggalkan kota kelahiran, mungkinkah sudah menghapus ingatanku akan sisa-sisa wajah mereka?
Atau barang kali ada di antara mereka yang pernah tinggal di kampung yang bersebelahan dengan kampung tempat aku tinggal?
Dan wanita itu! Sengaja aku memperhatikan wajahnya dengan seksama. Ada sekilas profil wajahnya dari samping, hidung kecil agak mancung, bibir tipis dan dagunya agak lancip, seperti samar-samar meruak ke dalam ingatanku akan seseorang.
“Mas ingat Mbak Sum?” tanyanya tiba-tiba.
Ya Tuhan, aku terhenyak. Mungkinkah dia itu Mbak Sum, yang dalam ingatan masa remajaku, adalah kembang desa di kampung sebelah. Putri tunggal Pak Wignyo, pemain sandiwara srandul. Abangku yang waktu itu sudah dewasa selalu membicarakannya, sebagai bintang panggung setiap ada pasar malam di kotaku. Panggung terbuka di tengah alun-alun, selalu diadakan pertunjukan tari waktu itu. Dan Mbak Sum tampil sebagai Mbok Tani yang menari gemulai dengan tubuh sintal berkulit kuning langsat, dibungkus kebaya lurik ketat dan kain batik sebatas lutut, lengan kirinya memeluk bakul bambu kecil dan lengan kanannya yang berjari lentik berayun ke kanan kiri seakan sedang mencabuti tanaman genjer di pinggir sawah. Senyumnya yang berlesung pipit tak ketinggalan, selalu disambut meriah oleh para penonton.
Aku terbengong menatapnya lama. Di mata masa remajaku, dia wanita cantik bukan main.
Dia tersenyum, sambil katanya: “Ingat kan? Saya ingat sama Mas kok. Wajah Mas nggak berubah, mungkin waktu itu usia Mas baru tiga belas tahunan, dan saya perhatikan Mas suka tak berkedip menonton tarian saya, he-he….
“Ah, Mas, sebaiknya kita lupakan saja masa itu,” sambungnya dan wajahnya berubah sendu.
“Lalu Bang Ridwan?” tanyaku dengan agak tersipu, teringat suaminya, pemuda seberang, aktivis pergerakan pemuda, yang menikahinya dan membuat abangku patah hati.
Dia diam lama. Tak pelak aku tidak bertanya lagi. Kuhirup kopiku mengisi kebekuan suasana.
“Mas percaya pada nasib? Apa bedanya dari takdir?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terkesima tak bisa menjawab.
“Sum ditakdirkan Tuhan jadi anak pemain sandiwara srandul. Masa kecil Sum tak lepas dari panggung sandiwara itu. Dan kemudian jadi penari. Apakah ini nasib?” tanya dia.
Rupanya pertanyaan itu tak memerlukan jawabanku.
“Nasib membawa Sum ketemu Bang Ridwan, sewaktu ada Kongres Pemuda. Sum menari dalam acara pembukaanya. Di belakang panggung Bang Ridwan menemui Sum dengan membawa impian, yang membuat Sum harus menyerah kepada nasib kalau ini dikatakan nasib, mengingat keluarga Sum hidup dalam amat sangat kekurangan…,” ujarnya dengan menunduk untuk menyembunyikan raut sedih.
Terbayang olehku betapa riuh waktu pesta pernikahannya. Bukan dengan pertunjukan tari atau musik gamelan, melainkan dipenuhi para pemuda berseragam hitam dengan syal merah di lehernya. Mereka menyanyikan lagu-lagu perjuangan yang sangat populer pada waktu itu. Di antaranya yang masih kuingat nyanyian “Nasakom Bersatu”.
Sejak itu memang Sum banyak meninggalkan desa bersama rombongan sandiwaranya, mengikuti suaminya ke berbegai kota. Sampai kemudian seluruh negeri terhenyak dengan siaran radio yang memperdengarkan pidato seorang perwira ABRI yang menyatakan kemenangan pergerakan revolusioner. Dan paginya, barisan besar orang muda dan juga yang masih anak-anak merajai jalan raya kota. Semua orang bertopi yang dibikin dari kertas bekas koran partai politik. Poster dan spanduk serta yel-yel kemenangan partai dan organisasi-organisasi pendukungnya diteriakkan dengan suka cita. Sekilas terlihat Sum muda di antara mereka, berjalan di barisan terdepan.
***
SEHABIS acara pernikahan itu, memang aku tak tahu lagi di mana si cantik Sum berada. Dan sekarang aku percaya pada kata dia tentang nasib. Nasib juga membawa aku bertemu dengan seorang wanita yang sejak dulu, sejak masa kecilku dengan mata lelaki kulihat sebagai seorang wanita dengan keindahan badani yang sempurna. Sisa kecantikan wajahnya masih tampak. Kulit kuning langsat, pinggang masih ramping dan dada masih penuh.
Rupanya dia merasakan apa yang aku pikirkan. Sambil membetulkan tali kutang yang tampak menyembul di leher kebaya, dia bertanya, “Mas sudah menikah?”
Aku tergagap dan menggeleng.
Tiba-tiba dia mendekat dan duduk di sampingku.
Napasnya menyentuh tengkukku. Tak bisa kutahan rasa gugupku.
Dia bergeser dan tersenyum, sambil menyodorkan sepiring tempe bacem, “Mas masih lapar? Nanti kubikinkan lag nasi goreng istimewa,” ujarnya.
Tiba-tiba terdengar suara berdehem dengan batuk kecil. Seorang lelaki sudah berumur tapi masih gagah hadir di depan warung.
“Ah, Bapak, kenapa lama nggak nengokin Sum?” sambut Sum tampak mesra, “Ini kenalkan tetanggaku di kampung dulu.”
Ia berkata sambil menunjuk diriku. Aku mengangguk dan tersenyum. Pria gagah itu sedikit mengangguk dengan sedikit senyum dan pandangan curiga. Sementara Sum menyuguhkan segelas kopi kepada tamunya itu, aku memutuskan untuk pamit meninggalkan warung.
***
KEMUDIAN lama juga aku tak berkunjung ke warung kopi Sum. Masih penuh pikiranku dengan tanda tanya siapa lelaki itu. Aku pun heran kenapa ada rasa sedikit cemburu pada diriku. Sampai kemudian saat kontrak kerjaku sudah habis, dan setelah merasa sulit cari kerja di kota besar ini, aku berkeinginan pulang kampung dulu. Suatu malam aku sengaja nengok warung istimewa itu. Seorang lelaki setengah baya menyusul langkahku sebelum mencapai warung Sum yang hanya diterangi lampu teplok.
“Mas, aku tahu siapa Mas. Tetangga Mas waktu mas masih kecil,” ujarnya setengah berbisik, “Hati-hati, Mas, dia seperti kami, para pedagang yang mangkal di sini. Waktu ditangkap diselamatkan oleh seorang aparat dan dia jadi wanita simpanannya.”
Aku terhenyak sebentar.
“Disembunyikan di sini,” sambungnya sambil berlalu.
Di depan Sum setelah kuutarakan niatku akan pulang kampung, dia terdiam sambil menatap lama. Ada sesuatu yang seperti kabut di matanya. Aku juga. Kami banyak diam. Kenikmatan tempe bacem sambil menghirup kopi terasa hambar.
“Sum tahu, Mas sudah dengar tentang Sum. Itulah nasib dan takdir Sum sebagai penari. Hidup dari menari! Takdir mempertemukan Sum dengan seorang lelaki yang kemudian jadi suami, tanpa Sum tahu apa itu politik. Tanpa Sum mengerti kenapa terjadi petaka seperti itu. Padahal Sum hanya menari dalam banyak acara yang diselenggarakan oleh Bang Ridwan. Sungguh, Mas, Sum tidak mengerti, kenapa setiap ada acara pertemuan dengan massa, aku sedikit cemas. Pasti Bang Ridwan berpidato berapi-api untuk minta buruh tani dipersenjatai. Sungguh, Mas, itu tidak masuk nalarku,” ujarnya memecah kebekuan.
Tanpa henti, meskipun terlihat air bening mengembang di matanya.
“Suatu malam Bang Ridwan menyuruh Sum lari dari rumah. ‘Untuk cari selamat masing-masing,’ katanya. Sementara Sum bingung, Bang Ridwan sudah lari pada malam yang gelap. Tak lama kemudian serombongan orang berlari-lari dan berteriak teriak, ‘Kejar, kejar!’ sambil mengumandangkan kebesaran Tuhan. Dari clurit dan pedang yang mereka bawa, tak bisa berpikir panjang lagi, Sum harus melarikan diri.”
Wanita itu diam sejenak sambil menghapus mata. Aku bungkam terkesima.
“Sum lari tanpa henti menembus hutan jati dan kebun tebu. Sum akhirnya terbawa kereta barang, karena malam itu aku sembunyi di dalam gerbong kosong di stasiun. Di dalam gerbong aku terlelap sejenak, meski selalu dihantui mimpi tentang Bang Ridwan yang terpancung lehernya.
“Sampai sekarang Sum tidak tahu nasibnya…. Dan petaka pertama datang di stasiun pemberhentian berikutnya. Dua lelaki ikut menumpang. Mas bisa bayangkan apa yang terjadi kemudian? Dalam malam yang gelap mereka mendekat dengan menyeringai. Kalau Sum kuasa, pasti lebih baik melompat saja dari kereta yang sedang berjalan cepat!”
Sejenak Sum berhenti, menghela napas dalam-dalam.
“Mas bosan dengar kisahku?”
Aku menggeleng.
“Ya begitu mas nasib Sum, dengan menumpang truk akhirnya sampai di Jakarta ini. Dalam kondisi badan dan pakaian tak keruan, seorang tukang ojek sepeda mau mengantar Sum ke tempat tinggal kerabat orang tua Sum di daerah pinggiran Jakarta Utara. Tapi tampaknya mereka keberatan kalau aku tinggal di sana. Takut terlibat, kata mereka.
“Dari merekalah akhirnya Sum tahu apa yang sebenarnya terjadi tentang partai terlarang. Sum mohon bisa menginap semalam saja karena kelelahan. Mereka tidak menjawab. Tidak tahu siapa yang melapor. Pada pagi buta beberapa aparat datang membawa Sum dan kerabat orang tua Sum. Sampai sekarang pun aku tidak tahu kabar mereka.”
Untuk menahan perasaan kasihan di hati, aku menghirup kopi panas dan menyalakan rokok sambil tak lepas memandangnya.
“Sum kira akan dimasukkan ke rumah penjara, melainkan dengan mata tertutup aku diseret, benar-benar diseret ke sebuah rumah besar. Di dalamnya sudah ada beberapa perempuan dan banyak lelaki. Rupanya mereka juga tahanan. Rasanya tak kuasa Sum mengenang saat itu. Kami para perempuan dipaksa lepas pakaian dengan ditendang dan ditampar, kalau menolak. Dengan tanpa pakaian selembar benang pun kami dipaksa menari di depan para lelaki tahanan.”
Sum membungkuk sambil menutup muka dengan kedua telapak tangan.
Ah, hal itu mungkin yang aku dengar dan menjadi berita menghebohkan dengan sebutan Tari Harum Bunga yang disiarkan ke berbagai media pada saat pembantaian para jenderal terjadi di sebuah hutan karet di sebelah selatan Ibu Kota.
“Benar, Mas, ini yang namanya takdir,” Sum melanjutkan tanpa membuka kedua tangan yang basah di wajahnya, “Nasib tidak akan bisa berubah karena keadaan. Sum hanya menyerah kepada nasib, meskipun kadang terbetik niat Sum mau bunuh diri. Karena nasib Sum berlanjut seperti WTS yang harus selalu siap melayani para aparat dengan ancaman senjata. Sampai kemudian ada petugas yang kasihan. Sum dilarikan dengan janji akan menyelamatkan Sum. Semula ditaruh di kompleks pelacuran terkenal yang terletak di pinggir rel kereta. Dan akhirnya di sini. Takdir Sum akhirnya sebagai sekadar gula-gula.”
Sampai menjelang tengah malam, kami hanya berbicara penuh makna lewat pandangan mata saja. Kemudian kami meninggalkan warung setelah mematikan lampu teplok dan menutup pintu. Kami jalan bersama keluar taman, menuju pinggir jalan besar. Meskipun kami harus pulang ke arah yang berlawanan, tapi aku tidak mengerti, kenapa rasanya terlalu berat untuk melangkah pergi. Dari tatapan matanya berkali-kali kepadaku, rupanya Sum juga merasa demikian. Begitu sebuah bajaj menghampiri, seperti digerakkan sebuah kekuatan yang tak kuasa kami tolak, langsung kami duduk bersama di dalamnya. Dalam kendaraan, kami masih saling terdiam menikmati rasa hati masing-masing. Setelah melewati gang-gang sempit di daerah pinggiran Jakarta selatan, kami sampai di pondokannya, sebuah rumah petak di bantaran sungai.
Esoknya, saat menjelang subuh, dengan rasa berat, kaki melangkah menuju terminal bus yang akan membawaku pulang kampung dengan keringat Sum yang terasa masih melekat di bajuku. (*)


No comments:

Post a Comment

MEMAHAMI ALUR CERITA

MEMAHAMI ALUR CERITA             Alur atau disebut juga plot adalah rangkaian peristiwa yang dijalin berdasarkan hubungan urutan wak...