1.
Kisah Seruas Jalan
Cerpen Indrian Koto & Sunlie Thomas Alexander (Suara
Merdeka, 1 Mei 2011)
Jalan Pembuka
BEGINI mula-mula, kami sering
berebutan jika bicara masa lalu yang lekang di ingatan. Mulai dari jenis
mainan, kebiasaan ketika pulang sekolah, buku yang kami baca, hingga
jalan-jalan yang menempel di kepala. Meski kami tinggal tidak satu kota, usia
yang relatif berbeda dan memiliki perbedaan latar budaya, kami merasa sepakat,
ada banyak persamaan di antara kami menghabiskan waktu pada masa kecil.
Setiap kali membicarakan masa lalu, kami seperti
sedang reuni, seolah lawan dan teman main. Kami merasa sama-sama mengumpulkan
kertas rokok, lidi korek api, dan memainkan gambar umbul. Rasanya kami teman
yang sama ketika bergerombol di rumah tetangga menonton televisi. Kami seperti
kawan seperjalanan yang berombongan naik sepeda di sore hari atau pada hari
Minggu yang cerah. Menjelajahi jalan-jalan bersimpang hingga jalan-jalan tikus
dan merasa kami adalah penakluk dunia.
Entah siapa di antara kami yang punya ide mengenai
ini. Kami menuliskan bagian-bagian yang lekat di ingatan dan di mulai dari
jalan. Dengan begitu, kami merasa akan mendapat porsi yang sama dalam
bercerita. Dimulai dari jalan-jalan yang lekat di ingatan, siapa tahu, kelak
kami akan sampai pada cerita-cerita yang lain pula.
Belinyu, Jalan-jalan yang Menyesatkan
Ingatan
DI kota kecil kami, ada seruas
jalan yang paling aku sukai layaknya jalan Parangtritis di Jogja dan Braga di
Bandung. Jalan Depati Amir, begitulah ruas jalan itu diabadikan dengan nama
seorang pahlawan pulau kecil kami—setelah entah berapa kali bersalin nama.
Terbentang ia dari Rumah Sakit Timah hingga ke lapangan tenis dan tangsi.
Sementara cabang-cabang jalannya dinamakan pula dengan nama tiga demangnya yang
tak kalah kesohor: Demang Singayudha, Demang Batin Tikal dan Demang
Suramenggala.
Namun tetap saja orang-orang Tionghoa lebih suka
menyebut jalan-jalan di kawasan ini sebagai Holland Kai, Jalan Belanda. Tentu
lantaran di sana berdiri rumah-rumah berarsitektur Belanda peninggalan para
pegawai timah di jaman kolonial. Pada masa kejayaan penambangan pada 70-an
hingga 80-an, rumah-rumah di ketiga ruas jalan ini dihuni oleh para pejabat
perusahaan timah setingkat kepala wilayah produksi dan para kepala biro. Dulu
jalannya paling lebar di kota kecil kami, mulus tanpa lubang. Dan di malam
hari, dominasi cat warna putih dengan tiang-tiang lampu neon membuat kawasan
ini terang benderang.
Tak pelak, sejenak aku pun merasa sedang menyusuri
sebuah jalan di Eropa. Atau bila pikiranku sedikit liar, terkenanglah aku pada
jalan-jalan di St Petersburg, kota khayalan di tepian Misouri dalam cerita
petualangan Tom Sawyer dan Huck Finn karya Mark Twain—yang pada kemudian hari
kutahu terinspirasi pada kota kelahiran pengarangnya sendiri yang bernama
Hannibal! Ah, kota yang konon bermula dari gempa bumi dan seorang salesman
yang bicaranya halus…. Mengantuk di bawah sinar matahari pagi pada musim panas,
kata Twain. Membuat anganku terus membumbung, melambung. Demikian sore-sore aku
gemar bersepeda sendirian melintas di ruas jalan itu, lantas berbelok ke Jalan
Balar, terkadang masuk sampai ke kampung Wasre sembari terus membangun
jalan-jalan khayalku sendiri.
Sementara di sudut lain kotaku, Jalan Ali Seng yang
dipenuhi jajanan—dari martabak, bakso, manisan, es kelapa muda, sampai kembang
tahu dan berderet warung mi yang mengundang lapar—kerap pula kuamsal sebagai
jalanan Kota Shanghai yang eksotik pada awal abad 20 sebagaimana dalam sebuah
drama mandarin. Di ruas jalan inilah, pada malam hari pusat kota kecil kami
berpindah dari pasar. Wajar, sebab di jalan ini tegak gedung Bioskop Gelora
yang gemar memutar film-film lokal dan India. Dan tepat di seberang jalan,
nyaris berpunggung Bioskop Belia yang lebih suka menayangkan film kungfu dan
Hollywood. Sampai tahun sembilan puluhan, krismon melanda, Belia bangkrut lebih
dulu dan menjelma tempat biliar. Gelora nasibnya tak lebih baik: dijadikan
sarang walet!
Entahlah apakah kota kelahiranku ini berkembang ke
arah yang benar. Sebab kini setiap pulang, aku seakan tenggelam di antara
amnesia dan arus kenangan. Ada banyak hal yang hilang dan berubah, tetapi
banyak pula sisi yang bertahan. Toko-toko baru terus bermekaran di banyak ruas
jalan, gedung-gedung walet tumbuh menjulang di setiap sudut kota. Tapi satu-dua
ruko tua masih bertahan dalam keasingan, dan tersisa juga rumah-rumah papan
yang berdiri dalam kemuraman. Ai, seolah kota Key West yang dihidupkan segenap
cinta Hemingway dalam novel To Have and Have Not: Rumah-rumah kayu
berhalaman sempit, cahaya yang masuk dari daun jendela, rumah-rumah siput, semua
berlabur, tertutup rapat, kebajikan, kegagalan, ketabahan, dan gerutu yang
meluap-luap, kekurangan pangan, prasangka, keadilan, kenyamanan beragama dan
antarsuku….
Toh, kadang-kadang lanskap masa lalu itu—Jalan
Sriwijaya yang dipenuhi ruko-ruko kayu merapuh oleh waktu-hadir lagi di pelupuk
mataku bersama orang-orang yang bergerombol pergi ke bioskop di bawah cahaya
lampu jalan yang dibangun perusahaan timah. Dengan toko elektronik, lima buah
toko kelontong, dua toko jahit, tiga warung kecil dengan toples permen tersusun
di meja panjangnya, seorang tukang cukur, dua kedai kopi dan sebuah toko obat
merangkap optik, toko alat-alat tulis, dan sebuah bengkel sepeda dengan tempat
biliar di lantai tiga.
Oh, Sungguhlah benar Michael Pearson dalam catatan
perjalanannya, Imagined Placed: bahwasanya jalan lebih terikat dalam
waktu daripada ruang! Karena begitulah jalan-jalan pada masa kanak-kanak itu
awet dalam ingatanku. Separoh menghantui.
Setiap tahun aku memang selalu pulang, begitu juga
setelah aku menikah. Tentu, karena ibuku yang sudah tua—sekarang hidup dengan
seorang paman di ruko peninggalan kakek selepas ayahku wafat—perlu dijengguk.
Biasanya dua sampai tiga minggu aku di rumah, kadang bisa sebulan. Kadangkala
aku mengajak isteriku makan bakso di Jalan Mayor Safrie Rachman, atau belanja
ke pasar baru melewati sebuah jalan baru yang memotong bukit karet—ya, bukit
angker pada masa kanak-kanakku. Atau sesekali kami mengunjungi satu-dua kawan
lama yang masih bertahan di kota kelahiran ini. Sebagian besar dari mereka,
telah membangun jalan nasibnya masingmasing; ah, berserak di jalan-jalan
berbagai kota rantau!
Bulai misalnya, kawanku yang dulu mengenalkan kami
pada banyak jalan rahasia, sekarang menjadi seorang guide di Bali,
memandu turis-turis ke segala pelosok Pulau Dewata. Kami bertemu di facebook
setelah belasan tahun tak berkabar. “Aku sudah hampir keliling Indonesia,”
katanya bangga dan mengaku sudah menghafal seluruh sudut Pulau Bali.
Adakah karena itu ia lupa jalan pulang ke kampung
halaman?
Selain haru-biru jalan-jalan kenangan, apalagi yang
tersisa di kota kecilku? Kendati setiap kepulangan, Jalan Suramenggala masih
kerap kubayangkan seperti Macondo. Kota imajiner Gabriel Garcia Marques sebelum
Don Apoliener Mascote menyuruh para warga mengubah cat putih rumah mereka jadi
biru usai pernikahan putrinya Remedios dengan Aureliano Buendia. Meski kini
rumah-rumah di jalan itu tampak kusam tak terurus, dengan pagar-pagar besi
berkarat dan sebagian roboh. Ya, aku harus mafhum, beginilah tipikal sebuah
daerah pemukiman penambangan setelah kian menipis persediaan galiannya.
Surantih, Seruas Jalan dengan Banyak Cabang
DI Yogyakarta, kota kedua yang
kuhafal lumayan baik, memiliki banyak simpang dan belokan. Tapi rasanya tak ada
yang menyamai kemabukanku pada jalan-jalan di sekitar Kota Baru. Bagiku,
jalan-jalan dengan rumah-rumah Belanda dan gereja itu didesain untuk
memerangkap siapa pun yang lewat di dalamnya. Di jalan yang seperti labirin
ini, aku menjadi demikian buta dan sering berputar-putar di jalan yang sama.
Jalan-jalannya melingkar membentuk alamat sendiri dalam kepalaku.
Di kampungku, jalan besar satu-satunya adalah jalan
raya antarprovinsi. Jalan di depan rumahku itu terhubung dengan Padang di
bagian utara dan jauh di Tapan, selatan sana bercabang dua. Ke kiri menuju
Sungai Penuh, sampai ke Muaro Bungo, Jambi, ke kanan menuju Muko-Muko Bengkulu
Utara. Di sana jalan-jalannya makin bercecabang. Mereka bergerak menuju
nasibnya masing-masing.
Jalan di depan rumahku itu merupakan jalur utama di
Sumatera. Ke kerinci jalannya curam dan seringkali longsor. Hanya ada dua
angkutan langsung yang bisa digunakan menuju Sungai Penuh tiga kali dalam
sepekan, berbelok di ujung kecamatan sebelah setiap petang dan mengangkut
penumpang yang tak seberapa dengan minibus tua itu. Dari Bengkulu bis hanya
menumpang lalu. Ia lewat dinihari, saat kami sudah tertidur. Bis-bis besar itu
merupakan angkutan dari Palembang menuju Medan. Ada Mawar Selatan, Palapa yang
besar dan sama tuanya. Jalur itu mungkin dipilih karena lebih dekat ketimbang
harus berputar ke jalur tengah. Sementara dari Padang tak ada bis langsung yang
lewat di kampung kami menuju Bengkulu. Setiap lewat, rumah-rumah kami bergerak
seperti dilanda gempa.
Tak ada nama jalan yang pasti di kampung kami. Tak
ada pahlawan yang dikekalkan. Orang bisa sesukanya menamai jalan raya padat,
berlubang dan sempit itu. Untuk alamat dan tanda pengenal lebih sering ditulis
Jalan Raya Padang-Sei Penuh, ketimbang Padang-Bengkulu. Atau untuk mempermudah
orang-orang bisa menyebut Padang-Surantih, Padang-Kambang, Padang-Air Haji,
sesuai nama daerah mereka.
Jalan itulah satu-satunya penghubung kami dengan
dunia luar. Ke Mentawai misalnya, kami tak punya pelabuhan. Pendirian pelabuhan
di Muaro Sakai hanya sekedar rencana. Begitu pula jalan raya yang direncanakan
menembus Muara Labuh, Solok Selatan. Jalan Raya tersebut kabarnya sudah tembus
dan bisa dilewati, tetapi kembali menjadi hutan belantara. Sampai kini, jalan
itu hanya tumbuh dalam ingatan anak negeri. Kabarnya, proyek ini selalu gagal
dan tidak mendapat izin karena melewati Hutan Lindung Kerinci Seblat.
Namun begitu setidak-tidaknya kami masih memiliki
jalan-jalan kampung tak bernama, tersuruk di balik sawah, membentang sepanjang
sungai, berliku di tebing curam, menuju jauh ke kampung hulu. Sekarang, aku
melewatinya lebih dari sekadar mengenang. Jalan-jalan itu ada yang pendek
terhampar di satu kampung saja, ada yang melintasi kampung demi kampung, dan
ada pula jalan yang memanjang dan berujung di hulu sana. Jalan-jalan tersebut
berupa jalan tanah, yang layaknya sawah di kanan kirinya.
Jalan pertama adalah sebuah jalan yang membentang
di satu kampung di Koto Taratak. Sebuah jalan yang memisahkan diri dari jalur
utama di bagian utara dan bertemu lagi tak jauh di selatannya. Nama jalan ini
tidak begitu pasti, ada yang menyebut Galanggang, ada yang menyebut Kampung
Panai, kampung yang didiami oleh orang-orang bersuku Panai. Aku mengenal liku
jalan ini karena teman-teman SD berasal dari sini. Dari jalan bersimpang ini
akan sampai di sebuah simpang lain. Jalan itu membentang di hamparan sawah
berujung di Lampanjang, kampung yang terbentang di hamparan sawah luas berada
di belakang kampungku. Jalan utama tadi akan tembus lagi dengan jalan raya.
Jalan kampung lainnya merupakan penghubung banyak
jalan dari satu kampung menuju kampung lainnya. Petang hari, aku dan
kawan-kawan sering melewati jalan ini, terutama di hari libur dan bulan puasa.
Jalan ini punya tiga pintu masuk di desa Lansano. Pintu masuk pertama ada di
sebuah lapangan bola dekat SD. Jalan ini tak ada nama, kami menyebut kampung di
jalan ini hanya Belakang. Maksudnya kampung yang ada di belakang. Pintu masuk
kedua ada di depan kuburan desa. Jalannya berbelok ke dalam. Ke kanan sampai di
Jembatan Panjang, muara sungai menuju Pasar Surantih, ke kiri ke Sarik dan
menembus Lampanjang dan Taratak tadi. Di Sarik punya dua simpang lagi. Simpang
pertama akan membawa kita ke kampung tersuruk di pinggir sungai, sampai di
Jembatan Babuai yang punya simpang lagi. Simpang yang lain menukik menuju Tabek
Tinggi dan Tabek Rendah yang berada di kaki gunung. Jalan ini menembus Sialang
dan berujung di kaki bukit. Tapi simpang-simpangnya akan membawa kita menembus
sungai besar lewat Jembatan Babuai tadi.
Jika masuk dari Pasar Surantih kita akan bertemu
simpang tiga ke Pasir Nan Panjang, terus ke Timbulun, bertemu pertigaan ke
Sarik tadi. Lurus ke mudik ada Koto Marapak dan Koto Panjang. Di Koto Panjang
ada pertigaan menuju Sianok dan kampung lain di Amping Parak. Dari Koto Panjang
kita menjelang Kayu Gadang, menembus terus ke Ganting, Ampalu. Jalan berbatu
sejauh 45 kilometer berakhir di ujung kampung. Langgai namanya. Kampung hulu
yang seolah asing bagi ingatan kami yang tinggal di pinggir jalan raya.
Jalan-jalan itu sama buruknya dengan penghuni rumah
di kiri-kanan jalannya. Penduduk mengangkut nasib ke tanah seberang. Sebagian
lain naik ke hutan dan berladang jauh dari kampung. Jalan-jalan itu terus hidup
di kepalaku dan ingin selalu kujelang setiap pulang. Ajaibnya, setiap kali
kukunjungi, nyaris tak ada yang berbeda dengan rupa jalannya seakan dunia tidak
pernah berputar di tempat ini.
Ada banyak jalan-jalan tak bernama lainnya di
kampungku. Jalan yang diciptakan sebagai pemintas jarak. Nama-namanya
disesuaikan dengan kampung di dalamnya.
Jalan Paling Ujung
JIKA akhirnya kami menulis kisah
ini, tentu tidak sebatas mengingat yang lampau-lampau. Kampung kami yang jauh,
secara fisik nyaris tak pernah berubah. Ingatan ini barangkali sekadar
pemancing, sebab kami paham, siapa pun punya kenangan mengenai ruas jalan di
masa kecilnya.
Tentu Anda, pembaca yang budiman, juga punya
kenangan di ruas jalan. (*)
2.
Kupu-kupu dan
Desing Peluru
Cerpen S Prasetyo Utomo (Suara Merdeka, 8
Mei 2011)
SEEKOR kupu-kupu kecokelatan yang
sayap-sayapnya rapuh hinggap di dada Sarmo. Saat bentrokan dengan kerumunan
warga di dekat makam keramat yang hendak digusur sebagai pabrik, kupu-kupu itu
terbang rendah. Terbang di atas kepala Sarmo. Dengan pakaian seragam dan pentungan
di tangan, Sarmo menghindari bentrokan: saling dorong, pukul-memukul, melempar
batu, dan menganiaya. Sarmo tak ingin kupu-kupu kecokelatan itu mati. Lelaki
muda itu memilih menyelinap dari kerumunan. Di semak-semak pepohonan, ia
bersembunyi. Mencopot pakaian seragam. Membuang jauh pentungan. Melempar
sepatu. Membersihkan luka-luka tubuh, lumuran darah, keringat, debu dan asap
pembakaran mobil-mobil.
Tubuh Sarmo gemetar mengikuti kupu-kupu yang
terbang rendah seperti memberi arah langkah kakinya. Kupu-kupu itu membawanya
ke sebuah lorong gang, senja hari, di daerah pantai. Di kejauhan terdengar
pertarungan orang-orang yang murka, orang yang berteriak-teriak kalap,
melemparkan apa saja yang mereka genggam.
Tanpa seragam dan pentungan, Sarmo merasa lebih
ringan melangkah. Tak bermusuhan dengan siapa pun. Ia menyelinap diam-diam,
terus berjalan, menghindarkan diri dari keriuhan. Terus berjalan. Mengikuti
kupu-kupu yang terbang rendah. Hingga ia tak lagi melihat asap yang membubung
ke langit. Tak mendengar lagi suara teriakan-teriakan orang marah.
Tak terusik hati Sarmo untuk kembali ke kamar
kontrakannya. Ia mengikuti kepak sayap kupu-kupu kecokelatan yang terbang
rendah. Melupakan suara-suara meminta tolong itu terus menghantuinya. Menepis
suara rintihan. Melenyapkan bayang orang-orang yang dipukuli, diinjak-injak,
memekik nyaring, mulut melelehkan darah.
***
MENYUSUP di antara pepohonan,
meninggalkan hiruk-pikuk manusia yang saling pukul, Sarmo mencapai dataran tepi
muara sungai. Tak didengar lagi suara teriakan-teriakan garang. Langkah lelaki
muda itu mencapai rumah papan di tepi tanggul sungai. Tepian sungai dengan air
menggenang, hijau kehitaman—muara yang dekat dengan pantai. Kupu-kupu
kecoklatan itu menghilang.
Sarmo seperti tak sadar, mengapa ia mencapai rumah
papan kusam di tepi sungai. Ia termangu di depan pintu yang sedikit terbuka.
Seorang lelaki tua dia lihat sedang berjongkok di depan tungku kayu.
“Masuklah! Akan kusediakan secangkir kopi untukmu,”
kata lelaki tua yang duduk di depan tungku.
Menghirup kopi kental, di depan tungku kayu, Sarmo
merasakan tubuh yang menghangat. Tubuh yang semula gemetar, kini merasakan
ketenteraman. Ia tak ingin kembali ke kamar kontrakan. Ia tak mau dipandangi
orang-orang kampung di sekitar kontrakan dengan kebencian. Ia ingin berhenti
mengenakan seragam dinas itu dan tak lagi ingin memukuli orang-orang dengan
pentungan.
“Tinggallah di sini,” kata lelaki tua itu, yang
menyatakan diri sebagai penggali kubur. “Aku sendirian di rumah ini.”
Memandangi cangkul dan linggis di sudut dapur,
Sarmo teringat cangkul, sabit, dan caping yang sehari-hari dikenakan ke sawah
dan ladang di desa—sebelum berangkat mencari pekerjaan ke kota. Dia mendekati
tungku masak, seperti kebiasaannya membakar singkong dan jagung di ladang.
Penggali kubur itu makan, merokok, dan membiarkan
bara tungku masak menghangati rumah papan. Bila malam tercium aroma garam yang
merembes celah dinding papan.
“Besok pagi-pagi benar, makam keramat itu akan
dipindahkan! Sekarang, tidurlah! Besok ikutlah denganku!” Si penggali kubur tak
lagi mengatakan apa pun. Sarmo bertanya-tanya dalam hati, ia baru saja bentrok
dengan orang-orang yang meminta pemindahan makam keramat diurungkan. Bagaimana
mungkin makam keramat itu akan segera dibongkar besok pagi? Lelaki penggali
kubur itu tertidur pulas, seperti tak mengenal kesedihan. Tak menghiraukan
kesibukan di luar rumahnya.
Sarmo terus nyalang sepanjang malam. Teringat akan
komandannya yang penuh perhatian. Tanpa sepengetahuan komandan, dia menghilang
begitu saja.
***
SEPASANG kupu-kupu bersayap
kecokelatan hinggap di pusara makam keramat. Penggali kubur tak mengusirnya.
Sarmo yang mengikuti lelaki penggali kubur menjadi takjub, ketika empat
kupu-kupu terbang rendah, bersayap rapuh, dengan gerakan yang ringan. Kupu-kupu
itu hinggap, terbang, hinggap lagi. Enam belas kupu-kupu terbang dari pepohonan
liar di makam, mengitari pusara. Datang kian banyak kupu-kupu yang memenuhi
langit. Di sepanjang jalan ke makam berderet lelaki-lelaki bersenapan, tank,
dan mobil penyemprot gas air mata.
Kupu-kupu dari empat penjuru memenuhi langit di
atas makam keramat itu digali. Tercium bau harum saat cangkul menggali tanah
kubur keramat. Sarmo mengikuti lelaki penggali kubur, dan menemukan keperkasaan
masa silamnya: mengolah tanah. Kian dalam makam digali, kian pekat bau harum
tercium. Kupu-kupu kian berlipat-lipat memenuhi langit pagi menjelang matahari
rekah.
Mayat yang berumur ratusan tahun masih utuh
terbungkus kain kafan, tak tercabik sesobek pun. Mayat itu diangkat, dan
kupu-kupu terbang rendah di atas pusara, dan pasukan bersenapan itu tergeragap.
Mendadak serbuan orang-orang bersenjata tajam memburu beriringan, kalap
menerjang pasukan bersenapan.
Rentetan tembakan ke langit berdesingan.
Orang-orang yang mengamuk menghambur, meninggalkan makam keramat itu. Kembali
sunyi. Hanya suara cangkul dan linggis membongkar kuburan. Beberapa pasang
kupu-kupu masih beterbangan di atas makam keramat. Tak seorang pun berani
mengusik berpasang pasang kupu-kupu kecokelatan itu.
***
SEPULANG dari memindah makam
keramat dan beberapa jenazah lain, Sarmo mengikuti langkah penggali kubur
menyusuri gang. Lelaki penggali kubur memanggul cangkul. Sarmo dengan tubuhnya
yang kekar memanggul linggis. Tubuh mereka kotor berlumur tanah, keringat
mengering, wajah Sarmo membersitkan keceriaan. Kupu-kupu kecokelatan terbang
mengikuti langkah mereka. Kupu-kupu kecokelatan itu terbang menjauh menjelang
mencapai rumah papan di tepi tanggul sungai.
Suara gemuruh bolduser, gemeretak rumah-rumah kayu
yang dibongkar, suara jerit dan teriakan-teriakan marah orang-orang di tepi
tanggul sungai kian riuh. Sarmo tercengang. Keriuhan orang-orang, teriakan,
caci-maki, sumpah-serapah, dan jerit tangis yang mengapung sepanjang tepian
sungai menggerakkan langkah Sarmo bergegas. Disaksikannya rumah penggali kubur
sudah dibongkar buldoser.
Tak berani Sarmo mendekat. Ia melihat komandan dan
teman-temannya: orang-orang berseragam dengan pentungan di tangan. Mereka
berada di garis depan, dijaga pasukan bersenapan berjajar di sepanjang tanggul
sungai. Wajah mereka sinis, dingin, dan menahan murka. Lelaki-lelaki berseragam
dengan pentungan di tangan membakar reruntuhan rumah-rumah papan. Penghuni
rumah-rumah papan itu tak berani menembus barisan lelaki-lelaki bersenapan.
Mereka menjerit-jerit. Melolong-lolong. Berteriak-teriak.
Api surut perlahan-lahan. Cahaya senja semerah besi
berkarat. Kupu-kupu kecokelatan terbang rendah di tanah bekas rumah penggali
kubur. Datanglah sepasang kupu-kupu, empat, enam belas, dan kian berlipat
kupu-kupu mengitari tanah-tanah yang terbuka. Lelaki-lelaki bersenapan terpana
menyaksikan kupu-kupu kecokelatan beterbangan. Mendadak, tak terduga, muncul
berbondong-bondong orang bersenjata tajam, berteriak bersamaan, menghambur dari
lorong-lorong gang. Menyerbu lelaki-lelaki berseragam dan barisan lelaki
bersenapan yang tergagap. Tembakan senapan beruntun berdesingan di langit
senja.
***
SEEKOR kupu-kupu kecokelatan
terbang mengikuti langkah Sarmo. Ia tak lagi menemukan penggali kubur. Tinggal
cangkulnya. Tergeletak di antara orang-orang yang terluka. Berlumur darah.
Dipungutnya cangkul penggali kubur dan dia meninggalkan kawasan tepi tanggul
sungai yang kini terbuka kecokelatan tanpa rumah-rumah papan di atasnya. Dia
melangkah menyusuri lorong gang. Terus melangkah. Tak ada jalan lain, ia mesti
kembali ke kamar kontrakannya. Ia terus melangkah. Kupu-kupu itu menghilang
dalam gelap.
Menjelang malam Sarmo mencapai kamar kontrakan.
Mencari sebuah papan bekas, membeli cat dan kuas. Menulis sesuatu di papan itu.
Memakukannya di dahan pohon nangka yang tumbuh di depan kamar kontrakannya.
Kupu-kupu kecoklatan hinggap di papan. Sayapnya kuncup. Seorang anak kecil
berlarian di lorong gang, berhenti, membaca terpatah-patah tulisan di papan
yang dipakukan pada dahan pohon nangka: “Penggali Kubur”.
***
KETUKAN pintu kamar kontrakan
Sarmo terdengar gencar. Membangunkan lelaki muda itu dari tidur lelapnya. Hari
masih gelap, meski angin fajar terhembus saat ia membentangkan pintu kamar.
Harum buah nangka rekah tercium seketika. Seorang lelaki setengah baya, berpeci,
bersarung, tak henti-henti menghisap rokok berdiri di depan pintu kamar.
Sepasang matanya kuyu.
“Ikutlah denganku ke rumah duka. Ukur mayatnya,”
kata lelaki setengah baya itu. “Dan galilah liang lahat pagi ini juga.
Pemakaman dilakukan nanti siang.”
Pagi masih gelap di rumah duka. Sisa embun di
rerumputan pelataran, endapan kopi pada gelas, puntung rokok berceceran pada
asbak. Sarmo berhadapan dengan wajah kusut seorang ibu, dua putri di sisi
jenazah yang terbujur. Foto lelaki bersenapan, berkumis, gagah, dengan sepasang
mata bening, mengejutkan Sarmo.
“Dia membiarkan diri dihujani senjata tajam, dan
tak mau menembak, hingga meninggal,” kata lelaki setengah baya yang menjemput
Sarmo. “Kejadian ini di tepi tanggul sungai tepi pantai kemarin sore.”
Menggali tanah kubur, masih pagi, kupu-kupu
kecokelatan mengitari tanah yang digali. Sepasang kupu-kupu datang, empat, enam
belas, dan seperti kemarin, berdatangan kupu-kupu di atas kuburan. Liang lahat
terasa gembur, dan suara cangkulnya tak pernah membentur bongkah batu.
Pelayat yang mengantar jenazah siang itu memenuhi
makam. Kupu-kupu hinggap di daun dan bunga-bunga kamboja. Pasukan bersenapan
mengiring pemakaman. Tembakan senapan beberapa kali dalam pemakaman,
mengejutkan kupu-kupu yang hinggap di dahan, daun dan bunga-bunga kamboja.
Seekor kupu-kupu kecokelatan kembali mengikuti
Sarmo. Ia belum ingin kembali ke kamar kontrakannya. Ingin dicarinya, di mana
penggali kubur berada setelah rumahnya dirobohkan dan dibakar. Menuruni makam,
ia disambut komandannya yang datang melayat dengan sergapan bahagia,
“Syukurlah, Sarmo. Kutemukan kau dalam keadaan selamat. Kembalilah bertugas
besok pagi!”
Memandangi topi, seragam, pentungan, dan sepatu
yang dikenakan komandannya, Sarmo masih sempat tertegun. Lama ia termenung. Hampir
saja ia mengangguk. Tapi kupu-kupu kecokelatan yang hinggap di bibirnya,
menyebabkannya kelepasan bicara, “Aku tak akan lagi bertugas. Akan kujalani
hidupku sebagai penggali kubur.” (*)
3.
Purnama Tenggelam di Rajasthan
Cerpen Badrul Munir Chair (Suara Merdeka,
15 Mei 2011)
TENTU saja kau tak ingin menjadi
Kurawa seperti dalam kisah Mahabharata karya Mpu Vyasa yang pernah
kaubaca ketika masih remaja. Kau ingin menjadi Gatotkaca, ksatria Pandawa yang
selalu kau kagumi. Namun kini kau tak lagi percaya pada cita-cita.
Sayap-sayapmu patah, hatimu remuk. Kau mulai mengutuk, meragukan cerita-cerita
dalam Mahabharata, kau menyesal karena pernah bermimpi untuk
menjelajahi India, hanya karena seorang perempuan? Ah!
Kau baru saja tiba di Negeri Rembulan. Ya, Negeri
Rembulan yang selama ini hanya ada dalam angan-anganmu, menggenapi mimpi-mimpi
remajamu. Akhirnya kau bisa menginjakkan kedua kakimu di Rajasthan, tempat kau
bisa melihat purnama dari titik paling sempurna dari belahan dunia mana pun.
Ketika kemudian kau tak sengaja melihat perempuan itu datang dari arah
berlawanan, begitulah, kalian lalu berkenalan.
Adalah hal biasa bukan? Kau selalu berkenalan
dengan orang-orang yang kau temui selama perjalananmu.
Tapi ia berbeda, batinmu. Wajah perempuan itu seperti
Srikandi yang wajahnya kau kenali dari patung lilin di Kurusetra yang dua hari
lalu kau singgahi. Benar-benar seperti pinang dibelah dua. Sorot mata tajam
seperti ujung pedang, hidung mancung sebagaimana mestinya perempuan India,
dagunya lancip, dan wajah berbinar seperti bulan.
Namanya Devi, usianya sembilan belas tahun lebih
satu hari. Ia lahir ketika malam purnama, ketika bulan membentuk lingkaran
bulat sempurna seperti bola. Dan malam ini ia merasa seperti burung, terbang
bebas ke mana pun ia mau. Ia sedang mencari ksatria untuk mendampingi hidupnya
selamanya, tepat saat bulan purnama bersinar sempurna. Begitulah ia bercerita
padamu di bawah purnama. Di Padang Pasir Thar yang mengelilingi Rajasthan, kau
menggenggam erat jemarinya.
“Perempuan sembilan belas tahun sepertiku sudah
selayaknya bersuami,” ucap dia sembari mengerlingkan mata.
Kau hanya tersenyum, menatap wajahnya tanpa
berkedip. Jemarimu semakin erat menggenggam jemarinya yang kurus.
Sungguh malam yang sempurna. Di bawah guyuran
cahaya purnama, kalian saling berbagi cerita. Kau bercerita tentang mimpi-mimpi
masa mudamu, tentang obsesimu untuk pergi menjelajahi India karena kau terbius
pada keindahan yang kau saksikan dalam film Bollywood dan cerita Mahabharata,
tentang gadis-gadis cantik dalam film-film India yang sering kau saksikan
ketika masih muda. Dan kau merasa tak malu ketika kau juga bercerita tentang
negaramu yang porak-poranda akibat krisis ekonomi dan korupsi yang merajalela.
Kau tak lupa berusaha sedikit merayunya, kau katakan padanya bahwa wajahnya
seperti Srikandi, dia hanya tersenyum, lalu kalian sama-sama tertawa.
Purnama semakin menggila menerangi India, dan
kau sepertinya terlalu cepat jatuh cinta….
Kau teringat akan masa remajamu ketika kau sering
harus menginap di rumah tetanggamu demi menyaksikan film Bollywood yang selalu
diputar menjelang tengah malam. Dari sanalah kau kali pertama tahu betapa indah
India, dan sejak saat itu kau terobsesi dan berjanji kelak akan menginjakkan
kaki di India. Ketika remaja kau juga membaca kisah dalam Mahabharata.
Kau begitu tertarik pada cerita tentang pertarungan antara Pandawa melawan
Kurawa 3000 tahun silam di India, dan sejak saat itu keinginanmu untuk
menjelajah India semakin menggebu, kemudian angan-angan itu selalu menghiasi
mimpi malam-malammu.
Begitulah cerita, kini kau menginjakkan kedua
kakimu di India, setelah berbulan-bulan berjalan kaki menelusuri negara-negara
lain di penjuru Asia. Seperti mimpi yang nyata, seperti utang yang ditunaikan.
Namun, yang kau rasakan adalah miris dan kecewa, India tak seindah
cerita-cerita yang pernah kau baca.
Iya, India memang berbeda, kau begitu kecewa ketika
menerima kenyataan bahwa India tak seindah dalam adegan film ataupun
cerita-cerita yang pernah kaubaca, semua orang sibuk mencari Rupee,
ratusan orang rela berjubel seperti ikan sarden di atas gerbong kereta ataupun
bus kota demi menghemat ongkos, bioskop-bioskop tua yang selalu penuh, ah, nama
besar Gandhi dan Tagore seakan tenggelam di negerinya sendiri. Dan rasa kecewa
semacam itu pula yang kau rasakan ketika kau menemui ayah Devi untuk
meminangnya.
“Kau hanyalah seorang pengembara, anak muda, selain
itu kau punya apa?” lelaki tua itu memang tak salah, kau membatin. Seorang ayah
tentu selalu mencari lelaki yang mapan untuk bakal suami anaknya.
“Kau sudah menyiapkan berapa Rupee untuk
membawa anakku?”
Tentu saja kau terkejut, hatimu remuk, caranya
menawarkan anaknya seperti menjual wanita murahan saja—seperti cukong-cukong
dan mucikari yang pernah kau temui di jalan-jalan kecil Kota Kalkuta. Pyuh,
kau meludah di hadapannya.
Kau memang hanya pengembara, menggerakkan tubuhmu
tanpa tujuan yang kau tahu. Kau hanya ingin membuang kecewa, kecewa terhadap
negerimu yang porak-poranda, ribuan mil dari Rajasthan, Jakarta sudah menjadi
neraka, kuburan raksasa yang sudah dipersiapkan para penguasa kepada setiap
orang yang hendak melawan mereka, jika kau tak segera pergi, kau hanya tinggal
menunggu mati, apalagi sebagai mahasiswa, kau adalah sasaran empuk para
penguasa.
“Curilah aku dari ayahku, Rama. Bawalah aku lari ke
negaramu, mungkin di sana aku akan menemukan impian yang tak pernah aku
dapatkan di Rajasthan.”
Kau hanya diam, memandangi lentik alis perempuan
yang meratap di hadapmu, di atas dua mata bulat. Kau mengecup keningnya di
bawah sorotan rembulan yang membulat sempurna.
Purnama di Rajasthan jangan pernah dilewatkan….
Kau teringat pada sebuah tulisan yang kau temukan
dalam sebuah tulisan di majalah travelling, tentang purnama di
Rajasthan. Bahkan kau sangat mengingat kata demi kata yang dituliskan di majalah
itu: “Di Padang Pasir Thar Kota Puskhar, salah satu sudut di Provinsi
Rajasthan, purnama akan tampak begitu sempurna, membulat seperti bola, dan
letaknya tepat di atas kepala kita, seperti bola lampu yang menempel di
langit-langit kamar kita, seakan-akan purnama memang diciptakan khusus untuk
penduduk kota ini.”
Sepertinya, kekecewaanmu pada India akan terbayar
lunas di Rajasthan. Setelah perjalanan menjenuhkan menyusuri sudut-sudut kota
Kalkuta, perlakuan tidak menyenangkan oleh polisi Amristar, hiruk-pikuk New
Delhi yang sangat padat sekali, mendapati Sungai Gangga yang kumuh di Varanasi,
benar-benar tak seindah cerita dalam film Bollywood.
Namun kau mendapati suasana yang sama sekali
berbeda ketika menjejakkan kedua kakimu di Rajasthan, tak seperti di kota-kota
sebelumnya yang membuatmu tak betah, di Rajasthan, semua orang yang
berlalu-lalang seakan tersenyum memberi ucapan selamat datang, wajah-wajah yang
ramah, dan kota yang begitu indah.
Pada malam hari, ketika kau tiba di Padang Pasir
Thar, kau sungguh tak percaya mendapati purnama seakan-akan hanya berjarak
beberapa meter di atas kepalamu, kau sungguh bahagia dan terpesona, dan hatimu
terasa semakin berbunga-bunga ketika tak sengaja kau melihat seorang perempuan
datang dari arah berlawanan, dan kalian berkenalan.
Kalian duduk berdua beralaskan hamparan pasir, kau
dan Devi, walau sebenarnya kalian tak hanya duduk berdua karena begitu banyak
orang yang datang memenuhi Padang Pasir Thar untuk melakukan ritual purnama,
namun bagimu, purnama itu hanyalah milik kalian berdua.
Saat itu, tentu saja kau tak pernah menyangka,
bahwa perempuan itu hanya akan menambah cerita kelam perjalanan panjangmu
menyusuri India.
“Apakah aku mencintai orang yang salah?”
Pertanyaan itu kini diam-diam menggelayuti hatimu. Walau
seharusnya yang kau tanyakan adalah, “Apakah aku terlalu cepat jatuh cinta?”
Ah, sebelumnya kau memang tak pernah merasakan cinta yang lebih indah dari ini,
dan tentu saja indah dari ini, dan tentu saja lebih luka dari segalanya.
Kini kau merasa kesepian di tengah Padang Pasir
Thar yang telah menjelma lautan manusia. Setiap purnama, orang-orang dari
pelosok India berduyun untuk melakukan ritual purnama, semacam persembahan dan
ucapan terima kasih kepada dewa, membaca doa-doa dan pujian menurut kepercayaan
mereka.
Devi baru saja meninggalkanmu, menghilang di antara
kerumunan orang-orang yang sibuk mendirikan tenda untuk tempat bermalam mereka,
sebagian yang tak punya biaya hanya tidur beralaskan pasir dan beratapkan
purnama, —seperti kalian.
Ah, dia memang tak pernah mau mengerti, betapa
kalian bernasib hampir sama, mempunyai kekecewaan yang sama terhadap kampung
halaman, negara yang sama-sama kacau, poor country, dan secercah
harapan kalian yang sama-sama sirna.
Kau benar-benar merasa sepi, kau merebahkan diri di
atas pasir, memandang rembulan yang bersinar seperti bola lampu dengan watt
tinggi. Ah, kau jadi teringat dengan kamarmu, kamar kecil tempatmu biasa
merebahkan diri, ribuan mil dari India, di sebuah kota kecil dekat Jakarta,
tempat kau menghabiskan masa remaja. Kau tersadar, terkadang pepatah memang
benar, hujan batu di negeri sendiri lebih berarti daripada hujan emas di negeri
orang.
Tiba-tiba kau ingin sekali pulang ke Indonesia,
sepetak tanah yang sudah hampir kau lupa. Kau benar-benar rindu, rindu untuk
mencium aroma tanah negeri kelahiranmu. Kau segera mengemasi barang-barangmu,
kau telah bertekad untuk pulang, pulang ke tanah kelahiranmu, tanah kelahiran
nenek moyang.
Baru beberapa jauh dari tempatmu melangkah, seorang
lelaki paruh baya menegurmu, menawarimu untuk mampir kedalam tendanya,
“Perempuan, Tuan. Silakan dipilih, boleh dibawa ke hotel atau di dalam tenda.”
Kau begitu tercengang, bukan karena tawaran lelaki
itu, namun kau melihat Devi duduk di antara perempuan-perempuan yang ditawarkan
di dalam tenda, mengenakan pakaian minim bahkan nyaris telanjang. Kau merasa
benar-benar tak percaya!
Di pinggiran Rajasthan, ketika kau hendak
meninggalkan negeri itu dalam keterasingan, sekali lagi kau melihat rembulan.
Kau lihat warna rembulan yang langsat berubah pucat, lalu perlahan kenangan dan
mimpi-mimpimu memudar, seperti purnama yang tenggelam di Rajasthan. (*)
4.
Rusuk Seratus Tahun
Cerpen Eko Triono (Suara Merdeka, 22 Mei
2011)
Rosma Niken:
BEBERAPA kali, ia memang kemari.
Terakhir, hari keenam pekan lalu. Nangis. Ia bercinta dengan menangis. Tangis
paling pilu, tangis tanpa suara. Hanya getar dada dan bibir yang membuat orang
yakin, perasaannya sedang tercabik-cabik. Teremas sampai giris.
Kukira, itu memang tangis yang benar-benar pecah
dari puncak kesepiannya sebagai lelaki. Lelaki yang malang; hingga akhir
hayatnya. Lelaki seratus tahun yang tak bisa mencintai siapa pun. Tak berjodoh
dengan perempuan mana pun!
Anda bisa bayangkan sendiri. Bagaimana rasanya
hidup bertahan bertahun tanpa cinta dan kasih sejati dari pasangan? Tanpa getar
rindu sesinyal pun, meksi ia telah berburu dari satu ladang ke ladang lain,
dari sawah ke sawah lain.
Kalau kemari, Mama Seli selalu menyerahkannya ke
kamar ini, ke tempatku. Dan setiap kali kupandang matanya yang tua, ia
menunduk, seolah aku ibu—yang mendapati anak lelakinya melacur—hingga kerut dan
letih semua perasaan dilarikan. Dengan hati-hati, selalu kucoba memberikan
imajinasi percintaan paling suci padanya. Tentang pepuja Pagan juga Amon-Isis
pada wajah Monalisa yang bijak dalam penyatuan kehendak agung.
“Anda pasti tampan saat belasan tahun, Tuan, tampan
sekali.”
Dan ia tak pernah menjawab girang ataupun
tersanjung. Hanya melihatku pendek, senyum, seolah bilang; aku tak peduli
dengan ketampanan, beribu perempuan mengatakan itu padaku. Matanya membuatku
berpaling pada lukisan bakteri-bakteri amuba yang menangis, pemberiannya ketika
aku bertanya dengan hati-hati, suatu kali, “Apa sebenarnya yang terjadi pada
Anda?” Selang sehari aku mendapatkan kiriman lukisan x meter itu darinya. Dan
selama beberapa hari, ia tak pernah muncul, hingga terdengar kabar: langganan
kami yang paling kaya itu pergi ke luar negeri.
Tapi tidak.
Ia masih kembali dan menemuiku hari keenam pekan
lalu saat hujan memenjara dingin. Dengan stelan jas hitam, ia masuk. Tongkat
dan topinya aku yang tertibkan. Dan, tak kusangka, ia berkata-kata sejak
langkah pertama memasuki kamar, dengan suaranya yang tua: “Rosma, aku telah
baca Kawabata, juga Marquez, aku ingin menikmati cinta tanpa bercinta denganmu
malam ini. Tanpa sentuhan satu gores pun. Aku hanya ingin memandangmu.”
Aku tak paham.
Dengan lembut kemudian ia dudukan aku di atas
ranjang, “Aku hanya ingin melihatmu, itu saja. Siapa tahu, dengan begitu aku
dapat merasakan cinta sejati, Rosma. Cinta yang dimiliki oleh semua manusia.
Dan bukankah aku ini juga manusia? Bukankah aku pantas memiliki cinta, Rosma?”
Aku menunduk dan menangis.
Kata-katanya terlalu dalam menghujam. Betapa.
Betapa malang lelaki ini. Umur panjang ternyata tak membuat kesempatan jatuh
cinta terjadi sekalipun dalam hidupnya. Selebihnya, kubiarkan ia mewujudkan
pikirannya. Ia mau lihat aku terbaring berbantal sebelah lengan dan bicara apa
pun, bercerita apa pun, tanpa rasa sungkan, takut, juga penambahan di sana-sini
demi kesan tertentu buatnya.
Hingga malam terlepas, dini hari menyentuhi kaca
jendela.
Dan ia dengan aneh dan tiba-tiba berteriak tak
jelas; menyerbuku seperti singa yang lama kehilangan betinanya! Meraung dan
menangis sebentar. Kemudian diam dalam tangis, atau mungkin tangis dalam diam.
Ngilu, pilu. Tapi bukan tangis rindu dalam arti cinta yang manusiawi. Ia tak
pernah jatuh cinta. Ia ingin jatuh cinta. Ia menangis untuk cinta yang tak ada
dalam dirinya. Ia menangis untuk perburuannya menjadi manusia utuh yang gagal.
Kasihan ia.
Omar Desta Fathur:
HOMO? Ngawur. Itu spekulasi yang
sangat ngawur. Tak ada bukti sama sekali. Itu strategi politik untuk
menurunkannya dari kekuasaan atas partai dan sejumlah perusahaan yang ditangani.
Dengar, ya, dengar: Tuan Foklor itu tidak menikah sebab pilihan hati. Toh,
banyak orang yang memilih tidak menikah. Apa yang salah? Itu hak asasi. Kita
ini hidup di negara yang telah bebas. Bebas melakukan apa pun. Apalagi bagi
orang berharta dan berkuasa seperti Tuan Foklor.
Astaga! Apalagi….
Anda ini kalau bertanya ngumpulin data
dulu nggak sih? Kalau iya, darimana itu. Info ngawur kok
dicomat-comot, dipakai begitu saja. Ya enggaklah! Kalaupun mendirikan beberapa
panti asuhan, rumah singgah, adopsi, termasuk taman kanak, itu karena tanggung
jawab sosial. Negara ini butuh banyak campur tangan para dermawan seperti
beliau. Lha kok malah diubar-uber isu macam begitu. Pedofillah, inilah, itulah.
Sudahlah, lebih baik dihapus memori semacam itu,
kita ganti dengan kenyataan bahwa Tuan Foklor adalah anak bangsa yang
membanggakan. Bahkan, kalau perlu, nanti, di dewan, kita usulkan menjadi
pahlawan nasional. Lihatlah jasa-jasa beliau di banyak bidang, pendidikan,
ekonomi, termasuk jasa dalam pengembangan pariwisata ke seluruh dunia.
O, kalau kesan. Tentu sangat banyak.
Tlilit…tlilit…. Tlililit….
Maaf, sebentar ya, halo? Gimana Zain,
sudah siap? Bukunya sudah dicetak? Jangan lupa kontak media. O, ya, ya, nanti
kutransfer, gampang itu….
Dokter Tamara:
SAYA ngomong gitu, bukan
berarti pernah jadi istri atau selingkuhannya lho, hihihi. Nggak dhing,
becanda itu! Becanda.
Aduh, tadi lupa. Tanya apa ya?
Oh, ya, Tuan Foklor memang orang besar dan
berpengaruh. Saya bangga jadi dokter pribadinya, yang itu artinya, saya tahu
persis apa saja yang terjadi, terkait dengan kesahatan beliau. Tapi terakhir,
sebelum meninggal, tak ada apa-apa. Kesehatannya tetap terkontrol meski pada
usia tua, bahkan sangat tua. Bayangkan, seratus tahun masih bugar? Sulit, sulit
mencari duanya. Dan hanya beberapa tulang pegal, encok, atau tangan gemetar,
dan sedikit mudah masuk angin. Dan itu biasa, dalam artian, mudah ditangani
—dan memang tak berpengaruh. Beliau masih aktivitas seperti biasa; mengisi
beberapa kolom koran, jalan-jalan ke taman kota, berburu di hutan belakang
rumahnya, dan pergi ke tempat-tempat yang biasanya dia sukai.
Tidak, sekali lagi, tidak.
Saya berani menjamin secara profesional, bahwa
bukan penyakit fisik yang menyebabkan beliau sering terlihat aneh, dan
meninggal dengan cara aneh tersebut. Oh, Tuhan, sampai hari ini aku tak percya
Tuan Foklor terga berbuat itu pada dirinya sendiri.
Bisa jadi. Itu bisa jadi.
Tapi, mohon maaf, saya tidak berani berkomentar
sebab itu bukan bidang saya. Coba Anda tanyakan pada beberapa psikolog yang
sering Tuan Foklor temui.
Paranormal Demian:
MUNGKIN memang inilah waktunya.
Akan kukatakan suatu hal besar tentang Tuan Foklor. Tapi sebelumnya dengan
terbuka, kukatakan nama yang kusandang ini adalah pemberian dari beliau.
Beliaulah yang membuatku dikenal sedemikian luas.
Bahkan nyaris hampir setiap detik, aku dikunjungi orang-orang. Dari segala
cara, dengan segala masalah. Yang anehnya aku tak bisa menyelesaikan
permasalahan beliau. Hari itu, aku masih tujuh belas tahun. Ada pertunjukan kuda
lumping di alun-alun kota. Aku datang. Banyak orang penting, yang dibicarakan
teman-temanku, ada di pertunjukan tersebut. Tapi aku tak peduli. Aku hanya rasa
pertunjukan itu memboskankan, dan dalam batin, aku berkata: “Kuda lumping
kenapa cuma nari dan makan bara. Kalau memang hebat, naiklah pohon kelapa, atau
tembuslah perut dengan sangkur!”
Dengan serta merta yang tak kuduga, para pemain
kuda lumping melakukan apa yang kukatakan.
Bersama itu, sang penimbuz—pawang kuda
lumping—menatapi aku dan mendekat dengan marah. Dan saat itu, datanglah Tuan
Foklor. Beliau mencegah. Kemudian mengajakku ke mobil, menuju penginapan.
Dimintanya aku duduk, dan ia menanyai banyak hal. Kemudian beliau tahu, aku tak
lagi punya orang tua. Aku pun diangkat, dibiayai dengan rahasia, dan
disekolahkan ke sekolah ilusionis di Jerman. Dari sanalah aku dapat nama:
Demian Raharjo. Beliau bilang bahwa aku seperti rekan Shinclair dalam novel
Hesse. Aku punya bakat alami supranatural. Yang membuatku beda adalah aku tak
pandai melukiskan mimpi buruk dan tak menyukai burung hantu dan Abraxas.
Apalagi menggabungkan Tuhan dan setan dalam satu diri itu. Dan lagi: Tuan
Foklor mempercayaiku sebab akulah orang yang paling mengerti kegelisahannya.
Kegelisahan paling rumit sekaligus celaka yang masih sulit berterima di benak
awam.
Dan beliau, beliau itu. Ah, aku berat
mengatakannya. Tapi, inilah sumber semua masalah dalam hidupnya yang
menimbulkan beban di satu sisi, bahkan kukira, keuntungan dari itu tak
sebanding dengan penderitaan yang beliau alami.
Beliau, beliau itu: berusuk lengkap.
Tak ada selengkung pun yang kurang atau ganjil,
sebagaimana selazimnya kami sebagai laki-laki normal. Dan berarti bahwa: beliau
tak memiliki jodoh di dunia ini selain dirinya sendiri. Beliau tak berhak atas
cinta pada lawan jenis; ajaib sekaligus misterius. Tapi itulah kenyataan.
Kenyataan yang selama ini beliau tutupi.
Kasihan sekali beliau. Hidup jadi manusia amuba
yang membelah setiap cinta dan kerinduan dari dan untuk dirinya sendiri. Itulah
sebabnya beliau sering nampak murung. Beliau ingin benar dapat jatuh cinta.
Dapat berkeluarga. Menikah. Memiliki pasangan. Dan normal sebagaimana manusia
lainnya. Tapi sungguh, itu tak terjadi. Aku bisa membaca pikiran beliau dengan
jelas sebagaimana yang beliau inginkan dengan mengangkatku. Sebab beliau pun
dapat membaca pikiran, pikiran setiap lelaki.
Kemampuan itu yang membantu beliau dalam karir dan
bisnis; termasuk membantu menemukan bakatku dan mengolahnya. Meskipun aku tahu,
beliau punya tujuan: agar aku, dengan entah kekuatan macam apa, mengubah jiwa
gelisah beliau tentang cinta, jadi normal. Jadi sebagaimana Adam yang dicabut
rusuknya buat jadi kekasih. Buat jadi cinta yang indah, dan begitu
membahagiakan, mencipta kangen, dan segala romantisme hidup di dunia.
Ya, aku tak bisa melarang beliau.
Lelaki tua, yang paling panjang umur itu, begitu
baik. Aku tak kuasa. Termasuk ketika beliau memberi tahu akan menikahi dirinya
sendiri dengan aku sebagai saksi. Dan igauan ngerinya sepanjang ijab paling
absurd itu: tentang mati dengan rusuk tercerabut, dan aku bakal diminta
menyimpan, untuk kemudian hari; bila kloning telah diizinkan. Agar kelak rusuk
itu ditumbuhkan dengan ilmu dunia, sebab semua ilmu sihir dan ilusi tak lagi
cukup melahirkan perempuan dari sela-sela rusuknya yang putih dan melengkung
keras. Perempuan baru yang selalu dirindukan menemani duduk dan bercerita. Atau
mungkin datang ke makamnya setiap senja, dengan biola kecil, dan memainkan lagu
kehidupan yang sederhana.
Oh, tidak. Aku selalu jadi melankoli ketika mengingat
semua kelembutan, juga penderitaan Tuan Foklor.
Seperti yang semua penduduk kota ini tahu. Bukan
hanya igauan: itu semua terrnyata rencana kematian. Beliau mewujudkan igauan
ngeri tersebut.
Beliau patahkan rusuknya sendiri pada saat-saat
kematiannya. Menyomplaknya dalam sekarat. Dalam teriakan mekik. Sementara aku
hanya bisa memejam; tak boleh mendekat. Padahal Anda bisa bayangkan: betapa
sakit, ngilu, dan perihnya mencabut rusuk sendiri dalam detik-detik menjelang
kematian yang menakutkan. Tidak. Demikian itu yang beliau mau. Aku tak
melakukan apa pun.
Dan kukira, memang itulah yang lebih baik bagi
beliau. Hidup tanpa cinta, bagi manusia, bukankah seperti kematian yang dimulai
sejak awal kelahiran?
Ah, tidak. Aku… aku masih ingat. Ingat benar apa
yang beliau katakan ketika menyompal rusuk sendiri, setelah mengorek dadanya
dengan pisau, dan dengan gaib, beliau, seorang kakek seratus tahun mampu
bertahan sedemikian rupa dari kematian—hingga dapat tersenyum dan berkata pada
sepotong rusuk yang masih dipenuhi titas darah dalam gengamannya; berkata
dengan gemetar yang dipancari sinar kebahagiaan akhir.
“Eva, hanya maut… yang tahu. Betapa aku…
benar-benar tak sempurna, bila hidup tanpa cinta dan kehadiranmu….” (*)
5.
Pertarungan Terakhir
Cerpen Hermawan Aksan (Suara Merdeka, 29
Mei 2011)
PADA suatu malam gerimis, ketika
dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca rumah, aku kehilangan tokoh
utama ceritaku. Tiba-tiba alur kisah yang tengah kurangkai menjadi buntu,
seperti menumbuk bidang datar yang pejal. Tema, konflik, deskripsi suasana, segalanya
menjadi tanpa arah, tak ubah tersesat di hutan antah berantah.
Ke mana ia? Padahal aku tengah bergairah menjadikan
dia seorang bramacorah. Aku hendak mempertemukan dia dengan seorang musuh
bebuyutan dalam pertarungan terakhir di sebuah lembah yang basah di kaki Gunung
Salak dan akan menjadi penentuan siapa sebenarnya bramacorah yang paling hebat
dalam sejarah. Sang musuh sudah mengadang, dengan baju dan celana hitam
komprang serta golok panjang di pinggang, dan sekarang tokoh utamaku
menghilang. Apakah ia mendadak menjadi lelaki tanpa nyali?
Kubongkar tumpukan kertas buram yang biasa kupakai
untuk merancang-rancang secara kasar cerita-cerita pendek. Barangkali ia
terselip di sana, menyembunyikan diri dari angin dingin yang menyelinap melalui
ventilasi, atau sengaja bertemu dengan tokoh-tokoh lain rekaanku. Tak ada.
Kubuka folder demi folder di
komputerku, siapa tahu ia menyelimpat di salah satu di antara puluhan file
naskah jadi atau setengah jadi. Barangkali ia ingin sejenak jalan-jalan
membuang kejenuhan, lagaknya pengarang yang kadang dilanda kekeringan gagasan.
Tak juga kujumpai di sana.
Beberapa waktu lalu, dua kali ia menghilang.
Pertama, ia lenyap ketika aku menjadikannya seorang pejabat yang ketahuan
mencuri uang negara. Cerita ini terinspirasi oleh fakta mutakhir di sebuah
kabupaten bahwa bupati, wakil bupati, sekretaris daerah, dan anggota dewan,
semuanya menjadi tersangka korupsi. Tak tersisa. Ia kutemukan di saku bajuku,
tokohku itu, di secarik kertas kuitansi honor dari sebuah media.
Kedua, ia raib dari bidang layar komputer ketika
cerita hampir mencapai klimaks dan ia harus menghadapi istrinya yang montok
macam timun suri selingkuh dengan bosnya. Ia kutemukan pagi hari tengah
mematung di kolam kecil di depan rumahku, memandang ikan-ikan yang kedinginan.
Aku memintanya masuk karena udara mengandung embun yang membekukan, tapi ia
bergeming seperti patung salju. Aku menduga ia tengah berangan-angan menjadi
kodok jantan, untuk menemani kodok betina di balik batu di sudut kolam.
Namanya Surandil, tokohku itu. Sulit aku memerikan
sosoknya. Ia pernah kupakai menjadi banyak karakter. Ketika menjadi mahasiswa,
ia berwajah biasa-biasa saja sehingga terbiasa patah hati karena selalu
mendambakan mahasiswa yang cantik luar biasa, kerap berlagak sebagai pencinta
binatang tapi membenci tak alang kepalang kucing milik ibu kos karena selalu
membikin gaduh di genting kamar tatkala ia berkonsentrasi mengerjakan
tugas-tugas kuliah.
Ketika menjadi pengemis, Surandil bertubuh kumuh
seperti patung jerami pengusir burung, bertopi pandan dan berkaki pengkor,
dengan baju berwarna campuran segala benda kotor dan bau seperti got mampat.
Ketika menjadi anggota DPR, ia memakai jas, dasi,
dan sepatu pantofel mengilat, pintar berjanji tanpa perlu menepati, duduk
nyaman di jok mobil Alphard yang menguarkan harum magnolia seraya jemarinya
sibuk mengubah-ubah status Facebook dan Twitter, kemudian menyandar tenteram di
kursi empuk ruang sidang dengan mata lelap terpejam, atau menitip tanda tangan
dan meluncur ke sebuah ruang yang samar dan temaram.
Aku menyukai nama Surandil tanpa sebab. Di dunia
nyata, pastilah yang ada Suranto, Suratno, Suharto, dan yang sejenisnya, tapi
aku tak yakin apakah ada nama Surandil. Nama ini muncul begitu saja seperti
putik bunga pada pagi hari dan berseminya putik tidak perlu karena sebab
tertentu. Tentu saja Surandil tidak tampil dalam setiap cerita. Tapi seperti
Seno Gumira dengan Sukab, AS Laksana dengan Seto, dan Mahwi Air Tawar dengan
Madrusin, Surandil seperti belahan jiwa bagiku. Soulmate.
***
INGIN kutanya istriku di mana
gerangan Surandil. Tapi risikonya terlalu tinggi. Pertama, ia tengah lelap dan
dengkurnya hilang-timbul di tengah desau angin malam. Oh, istriku cantik dan
seksi. Jadi, tak ada hubungannya antara dengkur dan kecantikan. Ia akan marah,
atau setidak-tidaknya cemberut berat, kalau kubangunkan di tengah mimpinya. Ia
sekretaris sebuah perusahaan penerbitan buku dan ia harus bangun pagi karena
selalu berangkat pukul tujuh dari rumah. Kami sudah hampir lima tahun menikah
dan kami saling mencintai, setidak-tidaknya aku yakin kami saling mencintai,
meskipun belum dianugerahi sesosok bayi. Kedua, ia akan bertanya macam-macam,
siapa itu Surandil. Akan makin runyam kalau ia menyangka Surandil adalah
manusia nyata.
Esoknya, kusambangi rumah temanku sang komponis
lagu. Rumahnya hanya berselisih satu rukun warga dengan rumahku. Sesekali aku
mampir jika hendak menjemput inspirasi di taman kompleks. Kadang jalan kaki,
tapi kali ini menunggangi motor bebekku. Rumahnya menghadap taman, asri seperti
iklan-iklan perumahan elite. Lagu-lagunya sedang digandrungi anak muda,
memadukan rock, blues, keroncong, tarling, dan orkes gambus
seperti adonan ketoprak betawi. Bagaimana lagu-lagu acakadut seperti itu
digemari, ah, selera anak-anak muda tak pernah bisa kita duga.
Beberapa kali aku membawa serta Surandil ke rumah
sang komponis, tanpa sengaja, karena tahu-tahu ia menyembul dari kepalaku, atau
kadang lepas dari lepitan dompet. Kami, maksudku aku dan sang komponis, kerap
bertukar gagasan mengenai proses kreatif. Tak jarang aku bertemu berbagai tokoh
baru dari lagu-lagu gubahannya. Sebaliknya, dari karya-karya yang kutunjukkan,
ia kerap menciptakan lagu.
“Kamu lihat Surandil?” tanyaku, tanpa basa-basi
melumat sepotong donat.
Sang komponis menghentikan petikan gitarnya.
Keningnya berkerenyit, lapisan kulitnya membentuk gelombang sinus-cosinus
sejajar dari tepi ke tepi. “Siapa Surandil?”
Ditanya seperti ini, kelabakan juga aku menjawab
apa.
“Rasanya kamu tinggal berdua saja dengan istrimu.
Adikmu? Atau keponakanmu? Seperti apa rupanya?”
Nah, pertanyaan ini juga sama sulitnya dijawab. Tak
mungkin aku bilang dia anggota dewan berjas wangi. Sama musykilnya kalau aku
bilang ia pengemis berbau penguk dengan kaki pengkor.
Karena aku diam saja, sang komponis kembali memainkan
jemarinya di kawat-kawat gitarnya. Terdengar genjrengan musik acakadut yang
tengah digemari anak-anak muda.
Aku lebih baik permisi saja.
Setelah menyusuri jalanan tanpa tujuan, tahu-tahu
aku sudah berhadapan dengan gerbang besi tempa rumah sahabatku sang pelukis.
Rumahnya lebih mewah dibanding rumah sang komponis. Luas, dan sekilas
menyerupai kastil dengan halaman yang seluas lapangan sepak bola. Seorang
pelayan membuka rantai gerbang dengan suara berkelontang, membawaku ke studio
sang pelukis di bangunan pinggir—lebih besar dibanding rumahku. Kalau siapa pun
ingin menemukan sebuah kontras yang paling ekstrem, di sinilah tempatnya:
gedung itu istana, sang istri bak permaisuri, tapi sang pelukis tak lebih dari
lelaki kurus, bungkuk, hidung bulat, bibir maju, kulit gelap kusam. Tapi
itulah, itu, satu lukisannya minimal seratus juta rupiah. Objeknya gadis-gadis
cantik molek tanpa busana. Dan ke sinilah aku masuk kalau sedang suntuk.
Tapi kali ini tujuanku bukan memuaskan dahaga
penglihatanku. Aku coba menyisir setiap sudut studionya, tapi tak kujumpai
Surandil.
“Kamu cari apa to?” Aku tergeragap beberapa kejap.
“Ya… melihat-lihat lukisanmu….”
“Tapi matamu tidak menatap lukisan-lukisan.”
Aku menoleh dan tertawa. Sang pelukis bukan orang
yang tepat untuk berdiskusi tentang Surandil.
Jadi, aku memutuskan pergi ke rumah sang novelis.
Betul, siapa tahu Surandil sedang berkumpul dengan teman-temannya sesama tokoh
fiktif. Aku tahu sang novelis memiliki koleksi tokoh yang tak terhitung. Ia tak
suka memakai tokoh yang sama dua kali. Satu judul saja menceritakan puluhan
tokoh. Dan ia sudah menerbitkan puluhan novel. Berarti ada ratusan tokoh di
sana.
Novel-novelnya bak kue bronis. Laris-manis.
Royaltinya ibarat Bengawan Solo, mengalir sampai jauh. Jadi, untuk ukuran Indonesia
sang novelis tergolong kaya. Rumahnya tingkat dua, sangat menonjol di antara
rumah-rumah di sekitarnya. Mobilnya dua. Meskipun jarang ke rumahnya, aku
mengagumi sang novelis karena ia tetap bersahaja.
“Ada angin apa seorang cerpenis berlabuh di sini?”
“Ah, saya bukan cerpenis, baru senang menulis
cerpen, dan tahu-tahu sudah terdampar di pelabuhan ini.”
Sang novelis berbalik dari laptopnya,
mengangguk-angguk dengan senyumnya yang seteduh pohon beringin.
“Kamu lihat Surandil?”
Kedua alis tebal sang novelis bergerak hendak
menyatu. Tapi sejenak menjauh lagi seiring dengan senyum di sudut kanan
bibirnya yang lagi-lagi meneduhkan. “Bukankah dia tokoh kesayanganmu?”
“Benar. Aku sedang membutuhkan peran dia.”
Lalu kuceritakan cerpen yang sedang kubuat.
“Hmmm….” sang novelis manggut-manggut macam
perkutut. “Mungkin ia tidak menyukai perannya. Mungkin ia ingin menjadi tokoh
lelaki muda yang tampan, kaya, rajin shalat, dan punya kekasih perempuan
cantik, juga kaya dan serba modern.”
“Sinetron sekali….”
“Bukankah itu yang digemari?”
“Seperti novel-novelmu?”
Sang novelis tertawa.
“Di mana aku harus mencari dia?”
“Tak perlu kamu cari. Tunggulah, dia akan kembali.
Rumahmu adalah rumahnya.”
***
PADA malam yang persis sama,
gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca, samar-samar
terdengar ketukan di pintu rumah. Ketika kubuka pintu, di bidang remang seorang
lelaki muncul dengan penampilan yang membuatku terpana: berambut panjang yang
diikat di belakang, berbandana hitam, celana jins belel, dan kaus berlogo klub
Liverpool bertulisan You’ll Never Walk Alone. Aku merasa tak asing
lagi. Aku selalu melihatnya di cermin. Sosok itu adalah diriku sendiri!
“Siapa kamu?”
Lelaki itu memberikan sorot yang menusuk melalui
hitam matanya. “Boleh aku masuk?” Aku memberinya jalan meskipun di dada
berjejalan tanda tanya.
“Kamu tak mengenalku?” tanyanya sambil melewatiku.
Menguar bau udara basah dari tubuhnya.
“Melihatmu sekilas, aku serasa sedang bercermin.
Tapi kamu bukan aku. Aku di cermin tak pernah memiliki raut menyeramkan seperti
kamu.”
“Aku Surandil.”
Kalau saja tidak tertahan pintu yang kututup di
belakangku, aku pasti sudah terjengkang.
Logika fiksi pun tidaklah berjumpalitan seperti
ini. “Tidak mungkin.”
“Kamu tak bisa mengingkari kenyataan yang kamu
lihat.”
“Surandil adalah tokoh ciptaanku. Akulah yang bisa
menentukan dia mau menjadi apa. Dan aku tak pernah menjadikan dia sebagai aku.”
Lelaki itu tertawa.
Ia menghampiri meja di sudut ruang tengah. Meja
dekat jendela kaca yang masih ditampar-tampar dedaunan bugenvil. Ia duduk
menyandar sebentar di kursi, lalu memandang layar komputer yang masih berupa
bidang putih menyala. Dua jarinya sekaligus menekan tombol CTRL + HOME dan
layar memperlihatkan barisanbarisan kalimat cerpenku yang belum tuntas.
Kemudian ditekannya CTRL + H.
Aku menyerbunya. “Apa yang kamu lakukan?”
Tapi tangan kirinya seperti palang besi. Aku
tertahan dan hanya bisa menatap layar komputer ketika semua nama Surandil dalam
cerpenku itu digantinya dengan namaku.
Kucoba mendorongnya dari kursiku. Tapi aku
merasakan kekuatan yang lebih dahsyat ketika aku malah terjengkang dan bagian
belakang kepalaku menghantam tembok.
Mungkin sejenak aku kehilangan kesadaran. Ketika
kubuka mata, tiba-tiba aku berada di sebuah lembah yang basah di kaki sebuah
gunung. Gunung Salakkah?
“Akhirnya kamu datang juga.”
Aku berbalik. Di hadapanku menjega sosok lelaki
berbaju dan celana hitam komprang dengan golok panjang di pinggang. (*)
.
6.
Lantai 9, Malam-malam
Cerpen Budi Maryono (Suara Merdeka, 5 Juni
2011)
RE menyusupkan foto La di bawah
bantal. Sebenarnya, satu jam belumlah cukup untuk menikmati senyum perempuan
yang memberi dia cinta tanpa syarat dan dua anak manis itu. Tapi Re tak mau
terhajar gelisah karena rindu. Rindu pada masa lalu yang acap menggapai-gapai.
Rindu pada pagi yang riuh, siang yang gaduh, serta malam-malam tukar napas dan
peluh.
“Sebelum bertemu denganmu, aku tak percaya ada
laki-laki yang sedemikian penuh cinta hingga membunuh hasrat sendiri untuk
melukai,” kata La pada malam pertama yang kemudian lewat tanpa percik darah.
Re tersenyum dengan dada terbusung. Tak sia-sia
selama ini dia mengoleksi aneka topeng dengan berbagai ekspresi. Bukan topeng
kayu, apalagi tembaga, melainkan topeng kulit yang bisa amat melekat ketika dia
pakai hingga tak memerlukan tempat penyimpanan khusus selain wajahnya. Cermin
pun tak tahu, apalagi La.
“Sebelum bertahun hidup bersamamu, aku ragu ada
laki-laki yang sedemikian penuh sayang hingga membunuh hasrat sendiri untuk
mengembara malam-malam,” kata La pada entah malam keberapa setelah keduanya
masyuk bercinta.
Re tersenyum dengan dada agak sesak. Cermin yang
selama ini baik-baik saja, tadi pagi tiba-tiba meretak. Dia curiga, kaca
pemantul itu mulai bisa melihat seringai di balik berlapis-lapis topeng di
wajahnya. Atau, ini yang membuat dia teramat waswas, selapis dua lapis topeng
itu telah mengelupas terkikis angin malam nan beringas.
“Ternyata kau bukan laki-laki yang berbeda. Hanya
anak-anak yang membuatmu masih mau pulang, itu pun cuma badan. Hati dan
pikiranmu tak pernah turut ke rumah. Selalu tertinggal entah di mana, di hati
dan pikiran entah siapa….” kata La pada sebilah dini hari sebelum mereka
bertengkar hebat dan berkeputusan pisah ranjang.
Re kehilangan senyum dengan dada nyaris meledak.
Tak hanya cermin sekarang, bola matanya pun meretak. Hampir tak ada lagi yang
bisa dia sembunyikan dari rasa La. Rasa yang kian lama kian tajam saja serupa
pisau yang dipakai oleh para penjagal untuk membeset kulit binatang. Satu sesetan
lagi, Re pasti telanjang.
“Kini aku sangat yakin, laki-laki dan cinta tidak
punya hubungan darah. Kau pun tak terkecuali. Maka nikmatilah kelelakianmu
sendiri!” kata La yang kemudian berjalan menjauh dari rumah bersama dua buah
hati mereka, Lu dan Ka.
Re meledak. Berkeping-keping.
***
RE memutuskan untuk keluar dari
kamar hotel yang dia tinggali tiga hari ini. Ke mana? Tak tahu dia. Saat jiwa
payah karena kerja dan hanya kerja, yang terpenting memang bukan pergi ke
melainkan keluar dari. Setelah menutup pintu dan memasukkan kunci ke
dalam saku, dia berjalan lambat di lorong hotel yang mati, tak ada kehidupan
sama sekali. Lantai 9 yang lengang. Teramat lengang.
Sampai kemudian Re mendengar suara batuk-batuk
kecil. Perempuan! Dia lihat jam tangan berwarna cokelat legit: 11.45. Hampir
tengah malam.
“Mau ke mana dia?” batin Re meski belum melihat
sosok perempuan itu.
Ketika hampir sampai lift, barulah dia
tahu, perempuan itu tak hendak ke mana-mana. Hanya membaca komik atau mungkin
malah novel grafis di sofa dekat lift sembari merokok.
Perempuan itu mendongak, menatap Re, tersenyum, dan
kembali ke bacaan. Re hanya sempat membalas senyuman itu sekilas dengan
anggukan. Dia pencet tombol lift, ke bawah. Begitu pintu terbuka,
cepat-cepat dia masuk. Namun sebelum pintu menutup dan lift bergerak
turun, dia lempar kerlingan. Sama. Ternyata sama. Perempuan itu juga mengerling
padanya. Batuk-batuk karena tersedak asap rokok, namun tak kehilangan senyum
yang pada malam di mana dan kapan pun pasti menggoda. Maka melekatlah senyum
itu di benak Re.
“Kau selalu begitu! Tidak pernah tak tergoda,
bahkan oleh senyum basa-basi belaka!” Bukan. Kali ini bukan suara La pada suatu
ketika. Itu suara hati. Suara yang muncul setiap kali Re ingin atau hendak
berpaling dari rumah. Dan seperti biasa, Re mengabaikannya. Karena itu dia
mengubah arah. Bukan lagi pergi entah ke mana melainkan hanya sampai di teras
hotel, berdiri sejenak untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara malam, dan
kembali ke lantai 9.
Angka 5 menyala.
Thing!
Pintu lift terbuka. Seorang perempuan
dengan rambut sedikit acak-acakan masuk, tersenyum, berdiri persis di sisi Re.
Parfum yang sangat maskulin melabrak hidung. Re ingat aroma itu. Aroma kemarin
malam. Aroma yang membangkitkan keisengan hingga dia dan perempuan itu
berciuman tanpa tujuan. Malas berbincang tapi sama-sama ingin membunuh waktu
luang dari lantai 5 sampai lantai 9. Begitu pintu lift terbuka,
keduanya keluar dan berjalan ke arah berlawanan. Re ke kiri, perempuan itu ke
kanan. Tak pernah saling kenal, seolah tak pernah pula berciuman.
Hasrat yang sama tak muncul lagi malam ini karena
Re telah terpikat senyum perempuan yang sedang membaca komik atau mungkin novel
grafis sambil merokok di dekat lift lantai 9. Senyum yang baginya jauh
lebih menggoda ketimbang kenikmatan ciuman tanpa tujuan. Saat perempuan
berparfum sangat maskulin itu mengubah posisi badan, tidak lagi bersisian tapi
berhadapan, Re menahan diri kuat-kuat agar kejadian kemarin malam tak terulang.
“Sedang jatuh cinta rupanya?”
“Ya,” jawab Re, namun buru-buru meralat, “Ah,
belum. Baru tergoda. Terpikat.”
“Hebat!”
Re berkerut kening.
Seraya merapatkan badan, perempuan itu melanjutkan,
“Kau hebat. Belum jatuh cinta, sudah setia. Bahkan tak mau mengulang ciuman
yang tidak punya arti apa-apa selain membunuh waktu luang.”
Re tertawa lirih dan mundur setelapak. “Aku tidak
sedang setia,” katanya, “Aku hanya sedang menahan diri demi kenikmatan atau
semogalah juga keindahan yang lebih.”
Giliran perempuan itu yang tertawa, juga lirih,
lalu dengan sedikit jinjit dia desahkan kata-kata ke telinga Re,
“Harapan bisa semenawan sekaligus serapuh gelembung sabun. Kita tiup
pelan-pelan, ia terbang dan memantulkan cahaya aneka warna. Namun sekali
terbentur, ia pecah dan kembali menjadi air bersabun. Jika nasib sedang buruk,
mungkin saja memercik dan memedihkan mata.”
“Amsal yang bagus. Sayang, nasib buruk adalah teman
lamaku.”
Perempuan itu tersenyum sinis, mengubah posisi
kembali bersisian. Dua-duanya diam menunggu pintu lift terbuka di
lantai 9.
Thing!
Perempuan yang tadi membaca komik atau mungkin
novel grafis sambil merokok itu kini sudah berdiri, tersenyum sangat lebar dan
merentangkan tangan, kemudian memeluk perempuan berparfum sangat maskulin yang
melompat keluar. Dalam saling peluk itu, dia tatap Re yang takjub hingga pintu lift
kembali menutup.
***
TIDAK ada pilihan. Tidak ada
keputusan. Re hanya diam membiarkan waktu merambat bersama lift yang
bergerak naik hingga lantai tertinggi dan berhenti. Saat pintu terbuka, matanya
bertabrakan dengan mata bulat dua bocah kembar berpipi bakpao dalam lukisan di
dinding. Sama bulat dengan mata Lu. Sama bulat dengan mata Ka. Yang beda, mata
kedua bocah dalam lukisan itu sangat cerah, sedangkan mata Lu dan Ka saat pergi
bersama ibu mereka begitu berkabut.
Dua bocah kembar dalam lukisan itu tersenyum
bersama. Re terperangah. Dia kucak-kucak mata. Tetap saja. Bulu kuduknya
meremang. Reflek dia pencet tombol untuk menutup pintu lift. Dia
pencet juga angka 9 sembari tergesa berdoa semoga ini hanya halusinasi, semoga
waktu tidak berhenti. Dia melepaskan napas lega dan menyandarkan badan ketika lift
bergerak turun.
Thing!
Pintu lift terbuka.
Re terkesiap.
Dua hari lalu, kemarin malam, pun tadi ketika dia
turun dan naik lagi, yang terpajang di dinding lantai 9 seberang lift
itu lukisan dekoratif hijau rimbun dedaunan berhias bunga-bunga kecil aneka
warna. Kenapa kini berubah menjadi dua bocah kembar berpipi bakpao bermata
bulat cerah dan tersenyum? Ya, sama persis dengan lukisan di lantai tertinggi.
Kembali Re mengucak mata. Tapi tetap saja.
Dia melangkah keluar dari lift dan belok
kiri. Bergegas seolah bisa mendahului waktu. Yang memenuhi kepalanya sekarang
hanya kembali ke kamar 909, menyeduh kopi dengan gula merah (dua-duanya
instan), lalu nonton televisi. Apa saja yang tertayang di televisi. Iklan,
film, berita, talkshow, sepak bola, siaran-ulang diskusi, tausiah,
atau lelang BB oleh perempuan-perempuan (sok) seksi yang menjerat mangsa dengan
pamer paha dan sembulan dada.
Re membuka pintu kamar.
Masuk.
Tersedak.
Bersamaan dengan debam pintu yang kembali tertutup,
Re melihat La sedang membaca buku di atas ranjang, diapit Lu dan Ka yang telah
lelap. Bukan ranjang hotel tempat dia menginap atas nama sebuah kantor berita
melainkan ranjang mereka di rumah. Bagaimana mungkin? Gugatnya dalam
ketersedakan. Gugatan itu membentur tebing gema ketika Re melihat dan
menyadari, kamar yang baru saja dia masuki pun bukan kamar hotel melainkan
kamar dia dan La di rumah.
Re terperangkap.
Sesak napas.
Megap-megap.
Karena tak ingin mati tiba-tiba, Re balik badan,
tergesa-gesa membuka pintu kamar, tergesa-gesa pula keluar.
Dia menoleh ke kiri dan kanan. Lorong panjang nan
lengang. “Ini hotel!” desisnya. “Masih hotel….”
Re bersyukur seperti baru saja terbangun dari mimpi
buruk yang menggelisahkan dan melelahkan. Saat itulah lamat-lamat dia mendengar
suara batuk-batuk kecil. Perempuan! Ah, pasti perempuan yang membaca komik atau
mungkin novel grafis sembari merokok. Tapi mendadak dia ingat perempuan
berparfum sangat maskulin, ingat juga bagaimana dua perempuan itu saling peluk
dan berjalan menuju kamar 9… entah berapa.
Lalu siapa yang mengeluarkan suara batuk-batuk
kecil itu sekarang? Re berjalan tetap, namun lambat menuju lift.
Sekitar 50 meter sebelum sampai, dia melihat dari belakang seorang perempuan
sedang duduk di sofa dekat lift, membaca atau menulis di notebook,
dan merokok. Maju tiga langkah lagi, dia tergeragap karena mengenali bentuk
tubuh dan cara duduk seperti itu. La!
Ya, begitulah La jika sedang duduk, membaca atau
menulis, di sofa: kaki bersila, notebook di pangkuan. Persis! Tapi La,
istrinya, tidak merokok. Tidak pernah pula menginap di hotel kecuali
bersamanya. Sontak dia tersadar sedang memasuki lorong mimpi buruk (lagi).
Secepat mungkin dan sekuat tenaga dia berbalik, namun terlambat. Perempuan itu
menoleh dan keduanya bersitatap.
“La?”
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum.
Re tercekik.
***
KUMATIKAN dan kututup notebook
di pangkuan. Kucecap sisa kopi pahit yang menemaniku semalaman. Kuisap rokok
terakhir yang tinggal sebuku jari lalu kusundutkan ke asbak hingga tumpas.
Kenikmatan puncak terpuncak menjalari seluruh tubuhku. Benar-benar puas rasanya
bisa membuat Re terkesiap, tersedak, terperangkap, dan tercekik.
Berkali-kali aku tergoda untuk membunuhnya tapi
berkali-kali pula godaan itu kusingkirkan. Seberapa berkobar pun kesumat dalam
dadaku, mati tetap terlalu simpel untuk Re, terlalu ringan, tidak menyiksa,
tidak sepadan dengan apa yang dia lakukan terhadapku. Bertahun-tahun. Bahkan
cuma dalam fiksi sekalipun. Jadi biarlah dia tercekik begitu. Selamanya.
Oh, iya, maaf…hampir lupa.
Namaku La. (*)
7.
Cerpen
Indah Darmastuti (Suara Merdeka, 12 Juni 2011)
ANDAI aku Nabi Musa yang memiliki tongkat
terberkati dengan kuasa, aku akan mengacungkan tongkat ini membelah laut itu
hingga kering barang empat depa dari ujung dermaga sini sampai ujung daratan
sana. Ombak pecah, gulungannya akan menyibak ketika angin yang didatangkan dari
acungan tongkatku mengiris triliunan kubik air, bagai membelah agar-agar. Angin
itu menyerbu laksana serdadu.
Kuda laut
serta ikan-ikan yang tak tanggap pada sesuatu yang sedang terjadi, akan
menggelepar-gelepar dalam pasir kering lautan yang pecah. Lalu hiu-hiu
tercengang. Kura-kura gelagapan. Cumi, pari, dan si kecil Nemo pasti
tercengang-cengang menyaksikan bagaimana dunianya terbelah—menyisih oleh
tongkat saktiku. Terumbu karang tersentak dan lantak. Kapal-kapal terjungkal,
polisi-polisi laut akan pontang-panting dengan napas tersengal menyaksikan
peristiwa dahsyat itu.
Lalu
kuperintahkan segera para perempuan yang pernah digiring di pesisir ini, untuk
lekas angkat kaki. Berlari, meninggalkan tempat-tempat pembusukan. Tempat darah
dan nanah berada dalam satu mangkuk ketakberdayaan.
Lalu aku
akan mengangkang, mengadang penyusul yang berani menggagalkan setiap selinap
para perempuan itu. Tongkatku yang ajaib akan menahan air supaya tetap
menyingkir hingga pelarian para pemegang hak merdeka itu berakhir. Di sana, di
daratan seberang sana.
Tetapi
nyatanya justru aku atau mereka yang lari tunggang-langgang ketika tongkat Mong
teracung menghalau kami. Tentang laki-laki itu, nama sebenarnya Winarto atau
Witarto, aku kurang tahu. Tetapi kami yang ada di tempat ini memanggilnya Mong.
Maksudnya bukan tukang momong walau sebenarnya dia yang ditugaskan entah
oleh siapa untuk menggembalakan kami.
Barangkali
kata menggembalakan kurang tepat, karena terkesan anggun dan damai. Karena
gembala yang aku tahu, ia akan membawa sekumpulan gembalaannya untuk menuju ke
tempat yang melimpah makanan dan kemerdekaan.
Tetapi
menggembalakan bisa jadi tepat karena kata itu memang pantas untuk hewan. Dan
di sini kami telah dihewankan. Tugas Mong adalah mengawasi kami. Menghalau kami
jika membangkang atau tertalu menuntut. Menghardik kami, persis menghardik
hewan. Atau mungkin “Mong” yang dimaksud oleh pemberi nama kali pertama itu
adalah macan. Kalau sebutan yang ini aku rasa cocok untuk dia. Karena dia
menggeram, mengancam dan menakut-nakuti kami dengan bermacam hukuman untuk
bermacam pelanggaran.
Tongkat
Mong sudah memakan korban. Ketika Nia, bukan nama sebenarnya, nama sebenarnya
adalah Ainun, tetapi ia merasa kalau nama Ainun terlalu indah untuk dianiaya di
tempat ini. Nah, si Nia menolak untuk diperiksa dokter. Alasannya jelas, meski
kurang masuk akal: ia bertekad untuk mempertahankan penyakit kelaminnya.
Mong
mengancam akan membuangnya ke laut, tetapi Nia tidak takut. Tak takut kalau
tubuhnya akan menjadi santapan hiu atau ubur-ubur gendut, itu jauh lebih
menyenangkan daripada pukulan tongkat Mong yang lebih berarti sebagai
penghinaan. Ia tak takut mati. Karena bagi Nia hidup sudah tak lagi layak untuk
dijalani. Tetapi bunuh diri baginya adalah tindakan pengecut. Sementara ia
sesumbar tak pernah mau menyerah pada apa pun yang terjadi dalam hidupnya.
Ketika dia didakwa bahwa penolakannya untuk diperiksa dokter adalah tindakan
bunuh diri, ia menolak. Sebab yang ia lakukan adalah menamengi diri agar ia tak
lagi ditugaskan untuk digumuli laki-laki, yang merupakan tugas utama perempuan
yang digelapkan di sini.
Tongkat
Mong bukan gertak sambal. Sebab Nia nyatanya babak belur.
Juga Gita.
Ia melakukan mogok makan berhari-hari. Tak pelak tubuhnya lemah dan membuat
Mong susah. Gita tahu Nia lumat oleh tongkat Mong, tetapi ia juga tak takut
tongkat Mong akan membabakbelurkan sekujur tubuh. Yang ia takutkan adalah
malam. Kendati taburan bintang telah menumbuhkan rindu pada para sanak di
kampung, ia hanya sanggup mencuri-curi lihat. Bukan benda-benda itu yang ia
takutkan, tetapi malam. Ketika matahari terpanah lalu rubuh rebah di laut yang
selalu gundah. Lalu bulan muncul. Hati Gita menggigil. Sebab sebentar lagi ia
akan dibuat pasang naik oleh nasib.
Pasang
naik. Persis seperti yang diakibatkan oleh bulan yang setiap malam terus
berdebat dengan bumi hingga mengguruhkan gelombang pasang. Gelora, menggelora
yang akan membawa nelayan-nelayan pada situasi antara hidup dan mati. Dan
pelaut-pelaut pengecut akan bergetar lutut.
Gita benci
malam. Ketika matahari rubuh rebah dan bulan mengejarnya tanpa lelah. Ketika
terus menerus gelombang pasang menuliskan sejarah perempuan yang telah digiring
di tempat ini.
Jika kau
melihat apa yang telah dicacat oleh gelombang dalam buku kunonya tentang
sejarah perempuan-perempuan itu, yang bisa kaubaca adalah sejarah penyesalan
dan ketidakberdayaan.
Dan kisah
Gitalah yang paling panjang mengisi halaman-halaman buku gelombang. Gita juga
bukan nama sebenarnya. Nama sebenarnya adalah Widuri. Jika ditanya mengapa ia
mengganti namanya dengan Gita, ia menjawab: “Adalah nama orang yang telah
menyebabkan aku berada di sini.”
Kututurkan
kisahku ini berdasarkan yang ditulis gelombang tentangnya. Bahwa ia berasal
dari sebuah kampung kecil di Jawa. Ketika perekrutan tenaga kerja wanita sedang
marak di negeri ini, adalah Sagita, sahabat yang telah dulu tinggal di Jakarta
menawarinya untuk bekerja. Macam-macam yang ditawarkan padanya dari kerja di
pabrik sepatu, penjaga toko, kapster salon, garmen juga di restauran.
Maka
berangkatlah Gita, maksudku Widuri, ke Jakarta bersama Sagita sang sahabat
terpercaya, dengan kereta penuh desak dan derak. Di dalam tasnya hanya ada
beberapa potong pakaian dan roti merk kelas menengah ke bawah itu. Oleh sang
sahabat ia dicium dengan tatapan penuh arti lalu dikenalkan pada orang-orang
yang sudah terbiasa mengurus dan menyalurkan tenaga kerja. Ke Hong Kong,
Emirat, Malaysia atau mana saja yang tahu pasti bahwa di sini harga manusia
amatlah murah.
Ia
ditampung bersama puluhan perempuan di sebuah tempat. Dan mulailah Gita alias
Widuri menjalani hari-hari mengagetkan. Kadang seperti bermain kartu, kadang
seperti bermain congklak atau petak umpet. Yang pasti semua adalah permainan.
Macam-macam permainan yang mesti dengan bagus dimainkan.
Perempuan
menumpuk, seperti barang over produksi. Dipaksa menjadi petarung bukan hanya
dengan diri dan nasibnya, tetapi juga dengan sesamanya. Tahulah ia bahwa
keberadaannya di tempat itu tak ubah ternak yang menunggu giliran untuk dibawa
ke tempat jagal.
Ia
akhirnya tahu bahwa dirinya adalah calon babu. Tak kunjung mendapat kerja, ia
memprotes sahabatnya, hingga akhirnya dikirim di sini, di tempat ‘kering’ yang
didindingi lautan. Di pesisir yang namanya disebut oleh penduduk setempat
dengan nada nyinyir.
Di sini,
di tempat ini tak terlalu jauh dari pelabuhan. Para awak kapal akan turun
setelah melewati banyak malam bertarung dengan gelombang. Menyisir lautan pasir
dan menuju tempat ketegangan akan terusir.
Rok,
rokok, hingga ayam berkokok, mereka masih menimang-nimang borok. Widuri salah
satunya sejak sang sahabat mengirimnya ke tempat ini. Jadi kurasa pantaslah ia
merasakan sesal dan pedih tetapi tak bisa ia melupakan begitu tikaman
sahabatnya yang telah membuat ia tercacah setiap hari, maka ia memakai nama
Gita sebagai prasasti kehancuran sejarah hidupnya.
Silakan
tanya pada gelombang laut Sulawesi yang telah mencatat gelak tawa nihil yang
terburai dari bibir mungil sang Gita. Maka ia akan menjawabmu dengan igauan
sawah sepetak dan rumah kecil di antara rumpun-rumpun bambu. Sejumlah uang
untuk menebus otak para guru yang menjadi hak adik-adiknya. Sejumlah uang untuk
menebus lapar, yang lupa bagaimana rasa segenggam beras kemerdekaan.
Gita benci
malam. Saat cawan-cawan menunggu anggukannya sebelum berlalu. Cawan yang terisi
dengus mampus dari paru-paru yang aus. Lalu merenda waktu menunggu fajar yang
terlalu payah untuk meluruhkan setiap borok, untuk dilabuhtitipkan pada
gelombang biar mengantam kapal-kapal yang membawa awak, yang hanya memiliki
moncong pistol tanpa tawaran pengharapan, apalagi cinta.
Mengemas
bau malam yang berceceran di kolong ranjang, lalu menebarkannya di sepanjang
jalan pulang di tempat mana ia harus melaporkan berapa takar keringat yang
keluar. Berapa janji yang akan terulang dan diulangi. Laki-laki dan para
lelaki. Pelaut-pelaut sepi yang mentah menghadapi hari-hari.
Gita benci
malam. Gelombang sungguh tahu itu. Ia satu di antara puluhan bahkan ratusan
mimpi yang tergadai. Menjadi babu di luar negeri barangkali akan sama resah
dengan menjadi babu di negeri sendiri. Mencoba menegakkan diri berdiri di atas
kehormatan yang terlanjur disangsikan betapa tak mudahnya.
Takut
mendamba cinta yang akan membuat hatinya berdesir seperti pasir-pasir di
pesisir.
“Kau hanya
pemain cadangan. Dan hanya mukjizat yang sanggup mengubahmu menjadi pemain
inti. Lupakanlah!”
“Tetapi
aku telanjur mencintai kamu, dan amat menyintaimu,” tegasnya pada pada para
lelaki.
“Apa pun
yang kauminta akan kuberi. Tentu selain pernikahan.”
Tak ada
benang waktu yang harus ia pintal seperti Penelope menenun harapan menunggu
kepulangan Odysseus. Tak ada yang harus diulur, ditarik, sebab semua akan
menjadi sia-sia. Karena setiap saat tongkat Mong akan mengadang, mendobrak
kamar dan menggeledah siapa tahu menemukan cinta yang ia sembunyikan di kolong
atau di bawah bantal.
Aku pernah
mengalami yang dirasakan Gita. Tetapi aku sudah bersekongkol dengan gelombang
yang telah mencatat sejarahku, agar ia sembunyikan tentang siapa aku. Tetapi
baiklah aku beri tahu sedikit kalimat, sedikit saja, lalu silakan kaucemooh
jika memang aku pantas mendapatkan. Bahwa aku tak pernah pintar bermain di
kamar. Para lelaki yang pernah menyewaku akan berakhir uring-uringan dan protes
pada Mong. Tak ada lagi pemesan sehingga pantasku adalah menjadi tukang sapu
dan tukang cuci baju. Selanjutnya sepiku akan kupenggal dengan menyantap
majalah-majalah usang atau buku-buku yang ditinggalkan pelanggan.
Dengan
gagang sapu yang panjang aku mencoba bersihkan setiap lelehan duka dan pedih
perih para perempuan itu. Banyak yang mengatakan aku perempuan beruntung
sementara aku menganggap diriku buntung. Dengan keranjang sampah kutampung air
mata mereka, yang semoga bisa berubah menjadi permata.
Nia dan
Gita, yang baru saja kutampung air matanya. Kuusap wajahnya dengan sabut sapu
ijuk yang ungu. Seperti warna jubah Isa ketika bersimpuh di antara popok-pokok
zaitun dalam gigil yang dilalui sekali dalam hidup-Nya. Tetapi kurasa Nia dan
Gita lebih gigil. Manakala harus berjalan getir di atas pasir pesisir. Melewati
malam-malam Getsemani setiap hari, dan esoknya adalah pembantaian.
Mereka
tahu, andai kuangkat tongkat sapu yang kugenggam ini, tak akan membelah lautan
sehingga tak akan menjadikannya pelarian. Tetapi tongkat ini akan membuat
mereka menjadi kunang-kunang, meski pucat dan patah sayap. Terjaga mimpikan
merdeka. (*)
8.
Siapakah yang Menyuruh Kita Memukul Lesung?
Cerpen Sunaryono Basuki Ks (Suara Merdeka,
19 Juni 2011)
SIAPAKAH yang menyuruh kita
memukul lesung saat terjadi gerhana dan meneriakkan kata-kata yang tak masuk
akal?
Mengapa tidak meneriakkan, “Gerhana! Gerhana!”
Orang-orang malahan memukul lesung. Kata mereka, untuk mengusir raksasa agar
tidak jadi menelan bulan. Berapa besarkah raksasa itu sampai mampu menelan
bulan yang demikian besar? Pastilah raksasa itu lebih besar dari besar bumi
ini. Alangkah banyak yang disantap sehari-hari atau kalau raksasa hanya makan
sebulan sekali, alangkah banyak makanan yang harus disantap? Apa dia juga harus
mengisap air sungai atau danau untuk melepaskan dahaga? Mustahil ia mau minum
air laut yang pasti akan membuatnya lebih dahaga, sebagaimana para nelayan yang
terayun-ayun gelombang laut berhari-hari tetap akan berupaya mencari air tawar
untuk melepas dahaga. Air laut akan menambah dahaga. Tenggorokannya terasa
kering.
Pasti ada yang membocorkan rahasia soal memukul
lesung saat raksasa nyaris menelan bumi. Tetapi sekarang ini? Di kota tak ada
lesung. Di desa pun, lesung sudah tersingkir dari rumah-rumah. Sebab padi tidak
lagi ditumbuk di lesung tetapi dibawa ke penggilingan dan digiling dengan mesin
slep. Apakah bila terjadi gerhana mesin slep harus dibunyikan? Apakah memang
kuncinya pada padi yang harus ditumbuk? Tetapi saat membunyikan lesung, orang
tidak menumbuk padi. Mereka hanya memukul dasar dan dinding lesung dengan irama
tertentu. Irama itu yang akan mengusir raksasa agar batal menelan bumi. Namun,
kenyataannya, biar sejuta lesung dipukul bersama-sama, gerhana tetap saja
berlangsung. Bumi ditelan kegelapan dan kemudian pelahan akan dimuntahkan
kembali oleh kegelapan.
Kegelapan? Apakah raksasa sama dengan kegelapan?
Secara kiasan memang sifat keraksasaan disamakan dengan kegelapan. Hati yang
gelap yang tak menemui sinar lilin, cahaya ilahi.
Dulu, pada masa lalu, saat masih dipakai banyak
orang, lesung dibunyikan untuk memberi tahu bahwa seseorang akan
menyelenggarakan upacara tertentu. Ada hajatan, apakah itu pernikahan atau
khitanan. Lesung pada saat khusus ini merupakan alat komunikasi bukan alat
produksi. Tetapi masih juga tersimpan rahasia, siapa yang memberi tahu raksasa
takut pada bunyi lesung?
Inilah kisahnya jika kamu percaya: …Pada zaman
duhulu kala, dahulu entah kapan, hiduplah raksasa sendirian di sebuah taman
yang indah. [*]
Karena taman itu indah, penuh bunga dan pohon
buah-buahan yang berbuah lebat, maka anak-anak pun suka berkunjung ke taman
tempat tinggal raksasa itu. Raksasa itu tak tahu bahwa banyak anak-anak yang
bermain di taman sebab mereka selalu bersembunyi di balik semak bilamana
raksasa muncul. Lama kelamaan raksasa merasa curiga sebab buah-buahan di
tamannya berkurang dan bunga-bunga pun nampaknya sudah dipetik. Anak-anak senang
memetik bunga sebagai oleh-oleh untuk ibu mereka, yang selalu sangat gembira
menerima hadiah bunga-bunga itu. Melihat ibu mereka gembira, maka mereka makin
rajin memetik bunga untuk menyenangkan hati ibu mereka.
“Apakah yang bisa kita berikan untuk membalas
kebaikan Ibu? Bukankah Ibu yang melahirkan kita, menyusui kita, mengganti popok
kita, dan saat kita sudah menjadi bocah, masih juga mencuci pakaian kita,
menjemurnya dan menyetrikanya agar rapi. Kukira hadiah berupa bunga tidak
seberapa untuk membalas kasih Ibu.”
Tetapi tidak demikian dengan raksasa.
Bunga-bunganya yang berkurang dan juga buah-buahan yang jumlahnya menyusut
membuatnya heran.
“Siapakah yang berani mencuri bunga-bungaku?”
Lalu, pada suatu hari raksasa itu meneriakkan
pikiran, “Siapakah yang berani mencuri bunga-bungaku?”
Suaranya bergetar, menggetarkan taman dengan luar
biasa, sampai bunga-bunga dan buah-buah pun gugur ke tanah. Anak-anak yang
bersembunyi di balik semak gemetar sebagaimana tanaman-tanaman itu pun
bergetar. Mereka yakin raksasa telah mengetahui perbuatan mereka.
Dan Naila, gadis kecil yang paling elok merasa
bahwa dia harus minta maaf, sebab dia yakin sejahat-jahat raksasa pasti akan
memberinya maaf jika dia memang minta maaf dengan tulus. Naila bergerak hendak
keluar dari persembunyian, tetapi Dedi yang paling besar memegang tangannya.
“Mau kemana kau?”
“Minta maaf,” katanya.
“Jangan! Nanti kamu dimakan.”
“Aku boleh dimakan sebab memang sudah bersalah
mencuri bunga-bunga dan buah-buahan. Tetapi demi kasihku pada Ibu, aku rela.”
Walau mereka hanya berbisik ternyata sang raksasa
mendengar pembicaraan mereka.
“Siapa kalian, ayo keluar!!!” teriak sang raksasa.
Dengan gemetar mereka keluar dari tempat sembunyi
mereka. Mereka bersepuluh. Naila paling depan dan Dedi paling belakang.
“Hua hua huaaa!” tawa raksasa.
Daun-daun pun bergetar dan gugur berhamburan.
“Kalian anak-anak pemberani. Kenapa kamu berani
mencuri bunga-bunga dan buah-buahanku?”
Tak seorang pun dari mereka berani menjawab. Hanya
Naila tanpa tubuh bergetar menjawab, “Maaf, Bapak Raksasa….”
“Ha ha ha, Bapak…?”
“Atau Om Raksasa…?”
“Kamu kira aku masih muda? Umurku sudah ribuan
tahun tetapi aku tak bisa mati….”
“Jadi aku panggil Kakek Kakek Kakek Raksasa saja
ya?”
“Oh, kamu lucu…. Siapa namamu?”
“Naila….”
“Kenapa kau berani mencuri dari kebunku?”
“Maaf, Kakek Kakek Kakek. Aku ingin membalas budi
pada ibuku. Ibu sangat menyukai bunga dan buah yang kuambil dari sini.”
“Bodoh! Membalas budi dengan mencuri.”
“Maafkan saya Kakek Kakek Kakek….”
“Kamu jujur, Naila. Kamu harus minta izin padaku.”
“Tapi kami takut kalau Kakek Kakek Kakek memakan
kami….”
“Ha ha ha. Aku tidak makan daging. Aku hanya makan
buah dan mencium harum bunga. Karena itu umurku panjang. Kalau mau berumur
panjang tirulah diriku, jangan makan daging sebab daging membunuh tubuhmu
dengan berbagai penyakit….”
“Baiklah, terima kasih….”
“Tunggu!” lalu direngkuhnya Naila di dalam
tangannya yang kokoh. Ke dalam telinganya sang Raksasa membisikkann sesuatu.
Teman-temannya tidak tahu apa itu, dan tidak segera diberitahu.
Sebetulnya inilah yang dikatakan raksasa itu:
Pada saat-saat tertentu tubuhku membesar dan
membesar dan menjadi sangat besar sampai lebih besar dari bumi ini. Dan pada
saat itu aku sangat ingin menelan bumi. Aku hanya merasa takut pada satu hal:
bunyi pukulan pada lesung, sebab pukulan itu mengingatkanku pada ibuku yang
suka memukulku dengan alu dan menampar-namparkan kepalaku pada lesung sebab aku
sangat nakal dan tak pernah menuruti perintah Ibu dan tak pernah pula
menyenangkan Ibu. Karena itu, kau Naila, yang mencintai dan menghormati ibumu,
kuberikan rahasia ini. Sampaikan rahasia ini pada ibumu dan teruskanlah
beritanya pada ibu-ibu yang lain.
Itulah sebabnya mengapa orang-orang memukul lesung
saat gerhana bukan memukul kentongan, sebab beritanya disampaikan oleh ibu
Naila, dan lesung hanya dipukul oleh perempuan, bukan laki-laki yang biasa
memukul kentongan.
“Percayakah kau pada dongeng ini?” tanya lelaki tua
yang dihadapi oleh sepuluh anak-anak yang setiap purnama mendongengkan kisah
yang menarik pada anak itu…. (*)
9.
Sum
Cerpen GM Sudarta (Suara Merdeka, 26 Juni
2011)
POHON kihujan itu masih kokoh
tegak di sudut taman. Batangnya hampir dua pelukan orang dewasa. Daunnya masih
rimbun meskipun beberapa dahan sudah rapuh. Di bawah pohon itulah sepuluh tahun
lalu terdapat sebuah warung kopi, yang kini hanya tinggal bekas kulit batang
bekas terbakar yang dulu mungkin tempat kompor minyak penjerang air. Masih
terbayang jelas ingatanku akan pemilik warung yang berwajah bulat telur dan
lesung pipitnya.
***
AKU mengenal dia di sebuah warung kopi kumuh itu,
pada waktu masa muda. Setiap pulang kerja, aku kerap singgah di warung yang
terletak di pinggir sudut taman di kawasan selatan Ibu Kota ini. Sebetulnya
tidak lagi disebut taman sebagaimana taman yang ada di Jakarta ini. Lebih tepat
disebut sebagai lahan pasar loak barang bekas apa saja, dari pakaian, radio,
onderdil motor hingga barang pecah belah. Beberapa pohon angsana masih bisa
untuk berteduh di sana-sini.
Adapun warung kopi itu pun tak juga bisa disebut
warung melainkan bedeng dari beberapa lembar dinding bambu dipasang seadanya, ditopang
kayu bangunan bekas dengan atap sisa-sisa seng gelombang, di bawah keteduhan
pohon kihujan yang rindang.
Perlengkapan warung hanya sebuah cerek kaleng
lumayan besar, wajan penggorengan, kompor minyak tanah yang sudah menghitam,
rak kayu dengan gelas berjejer, dan bebarapa kaleng berisi susu, bubuk kopi dan
teh, serta setumpuk bungkusan mi instant. Di meja selalu tersaji,
kaleng kerupuk, pisang goreng, tahu pong, dan yang mambuat saya selalu
ketagihan adalah tempe bacemnya.
Pemilik warung itu adalah seorang wanita setengah
baya dengan sisa-sisa kecantikan yang masih tampak meskipun dipenuhi
garis-garis wajah yang mencerminkan goresan kehidupan yang keras. Hanya sisa
lesung pipit yang masih tampak segar, yang tak lepas setiap menyajikan kopi
kepada pelanggannya.
Belakangan baru aku tahu namanya tanpa kutanya.
“Mas pasti asalnya sama dengan kota kelahiran saya,
ya?” tanyanya suatu kali, seraya menyodorkan kopi dan sepiring mi instant
rebus. Aku kaget, sampai sedikit tercekik mi rebus.
“Kok tahu?” tanyaku kembali tak acuh.
Kemudian dia duduk di sampingku.
“Sum tahu dari orang-orang pedagang barang bekas
itu lho…,” ujarnya dengan menyebutkan namanya sendiri.
Kemudian setengah berbisik, “Mereka pernah melihat
Mas di sana. Bahkan ada yang tahu mas lahir di sana.”
“Mas harus hati-hati,” tambahnya dengan mendekatkan
wajah, “mereka curiga Mas adalah mata-mata pemerintah.”
Aku terhenyak, sampai tersedak, air kopi nyangkut
di tenggorokan.
Memang aku sering merasa ada tatapan aneh mereka
kepadaku, meskipun aku mencoba menegur sapa dengan tulus kepada mereka.
Sementara ini aku mengira mereka adalah para tunawisma dan pemulung yang banyak
bermukim di bantaran sungai atau rel kereta.
Dan aku menyenangi tempat ini untuk ngopi dan
sekadar istirahat sebelum pulang ke pondokan. Karena tempat inilah yang aku
rasa paling sesuai dengan tingkat kerjaku yang hanya sebagai pesuruh di sebuah
kantor, meskipun aku juga pernah mengenal bangku kuliah selama setahun.
Kadang kala setiap aku berkunjung ke warung ini,
dan melewati kios dan jajaran para pedagang, terpercik dalam ingatan masa
kecilku ketika bertatapan dengan beberapa orang di antaranya. Adakah mereka ini
yang pernah aku kenal atau teman sepermainanku waktu itu? Setelah dua puluh
tahun lebih aku meningggalkan kota kelahiran, mungkinkah sudah menghapus
ingatanku akan sisa-sisa wajah mereka?
Atau barang kali ada di antara mereka yang pernah
tinggal di kampung yang bersebelahan dengan kampung tempat aku tinggal?
Dan wanita itu! Sengaja aku memperhatikan wajahnya
dengan seksama. Ada sekilas profil wajahnya dari samping, hidung kecil agak
mancung, bibir tipis dan dagunya agak lancip, seperti samar-samar meruak ke
dalam ingatanku akan seseorang.
“Mas ingat Mbak Sum?” tanyanya tiba-tiba.
Ya Tuhan, aku terhenyak. Mungkinkah dia itu Mbak
Sum, yang dalam ingatan masa remajaku, adalah kembang desa di kampung sebelah.
Putri tunggal Pak Wignyo, pemain sandiwara srandul. Abangku yang waktu itu
sudah dewasa selalu membicarakannya, sebagai bintang panggung setiap ada pasar
malam di kotaku. Panggung terbuka di tengah alun-alun, selalu diadakan
pertunjukan tari waktu itu. Dan Mbak Sum tampil sebagai Mbok Tani yang menari
gemulai dengan tubuh sintal berkulit kuning langsat, dibungkus kebaya lurik
ketat dan kain batik sebatas lutut, lengan kirinya memeluk bakul bambu kecil
dan lengan kanannya yang berjari lentik berayun ke kanan kiri seakan sedang
mencabuti tanaman genjer di pinggir sawah. Senyumnya yang berlesung pipit tak
ketinggalan, selalu disambut meriah oleh para penonton.
Aku terbengong menatapnya lama. Di mata masa
remajaku, dia wanita cantik bukan main.
Dia tersenyum, sambil katanya: “Ingat kan? Saya
ingat sama Mas kok. Wajah Mas nggak berubah, mungkin waktu itu usia Mas baru
tiga belas tahunan, dan saya perhatikan Mas suka tak berkedip menonton tarian
saya, he-he….
“Ah, Mas, sebaiknya kita lupakan saja masa itu,”
sambungnya dan wajahnya berubah sendu.
“Lalu Bang Ridwan?” tanyaku dengan agak tersipu,
teringat suaminya, pemuda seberang, aktivis pergerakan pemuda, yang menikahinya
dan membuat abangku patah hati.
Dia diam lama. Tak pelak aku tidak bertanya lagi.
Kuhirup kopiku mengisi kebekuan suasana.
“Mas percaya pada nasib? Apa bedanya dari takdir?”
tanyanya tiba-tiba.
Aku terkesima tak bisa menjawab.
“Sum ditakdirkan Tuhan jadi anak pemain sandiwara
srandul. Masa kecil Sum tak lepas dari panggung sandiwara itu. Dan kemudian
jadi penari. Apakah ini nasib?” tanya dia.
Rupanya pertanyaan itu tak memerlukan jawabanku.
“Nasib membawa Sum ketemu Bang Ridwan, sewaktu ada
Kongres Pemuda. Sum menari dalam acara pembukaanya. Di belakang panggung Bang
Ridwan menemui Sum dengan membawa impian, yang membuat Sum harus menyerah
kepada nasib kalau ini dikatakan nasib, mengingat keluarga Sum hidup dalam amat
sangat kekurangan…,” ujarnya dengan menunduk untuk menyembunyikan raut sedih.
Terbayang olehku betapa riuh waktu pesta
pernikahannya. Bukan dengan pertunjukan tari atau musik gamelan, melainkan
dipenuhi para pemuda berseragam hitam dengan syal merah di lehernya. Mereka
menyanyikan lagu-lagu perjuangan yang sangat populer pada waktu itu. Di
antaranya yang masih kuingat nyanyian “Nasakom Bersatu”.
Sejak itu memang Sum banyak meninggalkan desa
bersama rombongan sandiwaranya, mengikuti suaminya ke berbegai kota. Sampai
kemudian seluruh negeri terhenyak dengan siaran radio yang memperdengarkan
pidato seorang perwira ABRI yang menyatakan kemenangan pergerakan revolusioner.
Dan paginya, barisan besar orang muda dan juga yang masih anak-anak merajai jalan
raya kota. Semua orang bertopi yang dibikin dari kertas bekas koran partai
politik. Poster dan spanduk serta yel-yel kemenangan partai dan
organisasi-organisasi pendukungnya diteriakkan dengan suka cita. Sekilas
terlihat Sum muda di antara mereka, berjalan di barisan terdepan.
***
SEHABIS acara pernikahan itu,
memang aku tak tahu lagi di mana si cantik Sum berada. Dan sekarang aku percaya
pada kata dia tentang nasib. Nasib juga membawa aku bertemu dengan seorang
wanita yang sejak dulu, sejak masa kecilku dengan mata lelaki kulihat sebagai
seorang wanita dengan keindahan badani yang sempurna. Sisa kecantikan wajahnya
masih tampak. Kulit kuning langsat, pinggang masih ramping dan dada masih
penuh.
Rupanya dia merasakan apa yang aku pikirkan. Sambil
membetulkan tali kutang yang tampak menyembul di leher kebaya, dia bertanya,
“Mas sudah menikah?”
Aku tergagap dan menggeleng.
Tiba-tiba dia mendekat dan duduk di sampingku.
Napasnya menyentuh tengkukku. Tak bisa kutahan rasa
gugupku.
Dia bergeser dan tersenyum, sambil menyodorkan
sepiring tempe bacem, “Mas masih lapar? Nanti kubikinkan lag nasi goreng
istimewa,” ujarnya.
Tiba-tiba terdengar suara berdehem dengan batuk
kecil. Seorang lelaki sudah berumur tapi masih gagah hadir di depan warung.
“Ah, Bapak, kenapa lama nggak nengokin Sum?” sambut
Sum tampak mesra, “Ini kenalkan tetanggaku di kampung dulu.”
Ia berkata sambil menunjuk diriku. Aku mengangguk
dan tersenyum. Pria gagah itu sedikit mengangguk dengan sedikit senyum dan
pandangan curiga. Sementara Sum menyuguhkan segelas kopi kepada tamunya itu,
aku memutuskan untuk pamit meninggalkan warung.
***
KEMUDIAN lama juga aku tak
berkunjung ke warung kopi Sum. Masih penuh pikiranku dengan tanda tanya siapa
lelaki itu. Aku pun heran kenapa ada rasa sedikit cemburu pada diriku. Sampai
kemudian saat kontrak kerjaku sudah habis, dan setelah merasa sulit cari kerja di
kota besar ini, aku berkeinginan pulang kampung dulu. Suatu malam aku sengaja
nengok warung istimewa itu. Seorang lelaki setengah baya menyusul langkahku
sebelum mencapai warung Sum yang hanya diterangi lampu teplok.
“Mas, aku tahu siapa Mas. Tetangga Mas waktu mas
masih kecil,” ujarnya setengah berbisik, “Hati-hati, Mas, dia seperti kami,
para pedagang yang mangkal di sini. Waktu ditangkap diselamatkan oleh seorang
aparat dan dia jadi wanita simpanannya.”
Aku terhenyak sebentar.
“Disembunyikan di sini,” sambungnya sambil berlalu.
Di depan Sum setelah kuutarakan niatku akan pulang
kampung, dia terdiam sambil menatap lama. Ada sesuatu yang seperti kabut di
matanya. Aku juga. Kami banyak diam. Kenikmatan tempe bacem sambil menghirup
kopi terasa hambar.
“Sum tahu, Mas sudah dengar tentang Sum. Itulah
nasib dan takdir Sum sebagai penari. Hidup dari menari! Takdir mempertemukan
Sum dengan seorang lelaki yang kemudian jadi suami, tanpa Sum tahu apa itu
politik. Tanpa Sum mengerti kenapa terjadi petaka seperti itu. Padahal Sum
hanya menari dalam banyak acara yang diselenggarakan oleh Bang Ridwan. Sungguh,
Mas, Sum tidak mengerti, kenapa setiap ada acara pertemuan dengan massa, aku
sedikit cemas. Pasti Bang Ridwan berpidato berapi-api untuk minta buruh tani
dipersenjatai. Sungguh, Mas, itu tidak masuk nalarku,” ujarnya memecah
kebekuan.
Tanpa henti, meskipun terlihat air bening
mengembang di matanya.
“Suatu malam Bang Ridwan menyuruh Sum lari dari
rumah. ‘Untuk cari selamat masing-masing,’ katanya. Sementara Sum bingung, Bang
Ridwan sudah lari pada malam yang gelap. Tak lama kemudian serombongan orang
berlari-lari dan berteriak teriak, ‘Kejar, kejar!’ sambil mengumandangkan
kebesaran Tuhan. Dari clurit dan pedang yang mereka bawa, tak bisa berpikir
panjang lagi, Sum harus melarikan diri.”
Wanita itu diam sejenak sambil menghapus mata. Aku
bungkam terkesima.
“Sum lari tanpa henti menembus hutan jati dan kebun
tebu. Sum akhirnya terbawa kereta barang, karena malam itu aku sembunyi di
dalam gerbong kosong di stasiun. Di dalam gerbong aku terlelap sejenak, meski
selalu dihantui mimpi tentang Bang Ridwan yang terpancung lehernya.
“Sampai sekarang Sum tidak tahu nasibnya…. Dan
petaka pertama datang di stasiun pemberhentian berikutnya. Dua lelaki ikut
menumpang. Mas bisa bayangkan apa yang terjadi kemudian? Dalam malam yang gelap
mereka mendekat dengan menyeringai. Kalau Sum kuasa, pasti lebih baik melompat
saja dari kereta yang sedang berjalan cepat!”
Sejenak Sum berhenti, menghela napas dalam-dalam.
“Mas bosan dengar kisahku?”
Aku menggeleng.
“Ya begitu mas nasib Sum, dengan menumpang truk
akhirnya sampai di Jakarta ini. Dalam kondisi badan dan pakaian tak keruan,
seorang tukang ojek sepeda mau mengantar Sum ke tempat tinggal kerabat orang
tua Sum di daerah pinggiran Jakarta Utara. Tapi tampaknya mereka keberatan
kalau aku tinggal di sana. Takut terlibat, kata mereka.
“Dari merekalah akhirnya Sum tahu apa yang
sebenarnya terjadi tentang partai terlarang. Sum mohon bisa menginap semalam
saja karena kelelahan. Mereka tidak menjawab. Tidak tahu siapa yang melapor.
Pada pagi buta beberapa aparat datang membawa Sum dan kerabat orang tua Sum.
Sampai sekarang pun aku tidak tahu kabar mereka.”
Untuk menahan perasaan kasihan di hati, aku
menghirup kopi panas dan menyalakan rokok sambil tak lepas memandangnya.
“Sum kira akan dimasukkan ke rumah penjara,
melainkan dengan mata tertutup aku diseret, benar-benar diseret ke sebuah rumah
besar. Di dalamnya sudah ada beberapa perempuan dan banyak lelaki. Rupanya
mereka juga tahanan. Rasanya tak kuasa Sum mengenang saat itu. Kami para
perempuan dipaksa lepas pakaian dengan ditendang dan ditampar, kalau menolak.
Dengan tanpa pakaian selembar benang pun kami dipaksa menari di depan para
lelaki tahanan.”
Sum membungkuk sambil menutup muka dengan kedua telapak
tangan.
Ah, hal itu mungkin yang aku dengar dan menjadi
berita menghebohkan dengan sebutan Tari Harum Bunga yang disiarkan ke berbagai
media pada saat pembantaian para jenderal terjadi di sebuah hutan karet di
sebelah selatan Ibu Kota.
“Benar, Mas, ini yang namanya takdir,” Sum
melanjutkan tanpa membuka kedua tangan yang basah di wajahnya, “Nasib tidak
akan bisa berubah karena keadaan. Sum hanya menyerah kepada nasib, meskipun
kadang terbetik niat Sum mau bunuh diri. Karena nasib Sum berlanjut seperti WTS
yang harus selalu siap melayani para aparat dengan ancaman senjata. Sampai
kemudian ada petugas yang kasihan. Sum dilarikan dengan janji akan
menyelamatkan Sum. Semula ditaruh di kompleks pelacuran terkenal yang terletak
di pinggir rel kereta. Dan akhirnya di sini. Takdir Sum akhirnya sebagai
sekadar gula-gula.”
Sampai menjelang tengah malam, kami hanya berbicara
penuh makna lewat pandangan mata saja. Kemudian kami meninggalkan warung
setelah mematikan lampu teplok dan menutup pintu. Kami jalan bersama keluar
taman, menuju pinggir jalan besar. Meskipun kami harus pulang ke arah yang
berlawanan, tapi aku tidak mengerti, kenapa rasanya terlalu berat untuk
melangkah pergi. Dari tatapan matanya berkali-kali kepadaku, rupanya Sum juga
merasa demikian. Begitu sebuah bajaj menghampiri, seperti digerakkan sebuah
kekuatan yang tak kuasa kami tolak, langsung kami duduk bersama di dalamnya.
Dalam kendaraan, kami masih saling terdiam menikmati rasa hati masing-masing.
Setelah melewati gang-gang sempit di daerah pinggiran Jakarta selatan, kami
sampai di pondokannya, sebuah rumah petak di bantaran sungai.
Esoknya, saat menjelang subuh, dengan rasa berat,
kaki melangkah menuju terminal bus yang akan membawaku pulang kampung dengan
keringat Sum yang terasa masih melekat di bajuku. (*)
No comments:
Post a Comment