PROPOSAL
A.
Judul: Aspek Gramatikal dalam Cerpen Harian Suara Merdeka
dan Alternatif Pembelajaran di Kelas XII SMA N 1 Bangsri Jepara
B.
Latar Belakang
Masalah
Manusia dalam melaksanakan seluruh kegiatannya selalu
melibatkan bahasa sebagai sarana untuk berinteraksi dengan sesamanya. Fungsi
bahasa yang utama yaitu sebagai alat komunikasi yang digunakan oleh setiap
manusia dalam kehidupannya. Menurut Wibowo
(2001: 3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi
(dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang
dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan
perasaan dan pikiran.
Dalam berkomunikasi
seseorang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, keinginan, menyampaikan
pendapat dan informasi melalui bahasa. Begitupun untuk menyampaikan isi
imajinasi dan membuat karya sastra, seseorang harus menggunakan bahasa yaitu
bahasa tulis. Salah satu caranya ialah dengan menulis cerpen.
Di Indonesia
cerpen mulai ditulis sekitar tahun 1930. Kumpulan cerpen pertama adalah Teman Duduk karya M. Kasim (1936).
Cerpen kemudian dikembangkan oleh pengarang Pujangga Baru, seperti Armijn Pane
dan Hamka. Selanjutnya cerpen berkembang dengan pesat. Bahkan kini merupakan
bentuk prosa yang dominan karena mudah disampaikan melalui surat kabar,
majalah, dan radio. Suman H.S. dikenal sebagai Bapak Cerpen dan Novelis
Indonesia. Novel pertamanya adalah Kasih
Tak Terlerai (1929).
Dalam perkembangannya, dari segi bentuk dan panjangnya
cerpen merupakan karya sastra yang paling cepat dan mudah beradaptasi dengan
lingkungan media bukan sastra, misalnya koran. Entah berapa ratus cerpen
terpublikasikan di media pada setiap bulannya, sebab hampir semua majalah
hiburan dan surat kabar umum yang memiliki edisi menyediakan rubrik khusus
cerpen.
Cerpen sebagai suatu karya sastra yang relatif pendek,
dengan hanya beberapa halaman, dengan kalimat-kalimat realis yang sederhana,
terbukti sanggup membuktikan kosmos suatu kondisi dengan tampilan yang utuh. Menurut
Sumardjo
dan Saini (1997 : 37) mengatakan bahwa cerita pendek adalah cerita atau parasi
(bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar terjadi tetapi
dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, serta relatif pendek).
Umumnya,
sebuah cerpen dianalisis berdasarkan teori sastra dengan berbagai
pendekatannya. Akan tetapi, hal itu bukan berarti cerpen tidak bisa dianalisis
berdasarkan bahasanya (aspek gramatikal), yakni melalui analisis wacana.
Analisis
wacana akan dapat menambah pemahaman terhadap sebuah cerpen, sebab analisis
wacana bisa dikatakan sebuah kegiatan analisis yang diarahkan untuk melihat
keutuhan makna suatu rangkaian ujar.
Kumpulan
cerpen pada cerpen harian Suara Merdeka cukup menarik untuk dianalisis.
Analisis wacana akan menemukan keutuhan makna cerpen tersebut berdasarkan
konteksnya. Tentunya, analisis wacana terhadap sebuah cerita pendek (cerpen)
berbeda dengan kegiatan kajian sastra. Sebab, aspek yang menjadi perhatian
utamanya adalah aspek gramatikalnya, yakni mengkaji potongan-potongan bahasa
yang lebih besar dari sebuah kalimat sebagai suatu kesatuan, selanjutnya
memperhatikan konteksnya.
Pada
cerpen Kisah
Seruas Jalan, Purnama Tenggelam di Rajasthan, Kupu-kupu dan Desing Peluru, Rusuk
Seratus Tahun, Pertarungan Terakhir, Lantai 9, Malam-malam, Sum, Siapakah yang Menyuruh Kita Memukul Lesung?, dan
Getir Pesisir
yang diterbitkan oleh Suara Merdeka pada tahun 2011 ini akan dianalisis berdasarkan
bahasanya yakni aspek gramatikal.
Kohesi gramatikal pada
umumnya diajarkan dalam proses pembelajaran di jenjang
pendidikan SMA kelas XII semester satu. Pembelajaran kohesi gramatikal di SMA
sebenarnya menjadi salah satu materi pembelajaran yang sangat menarik karena dengan
mengetahui aspek gramatikal dapat menggali
peserta didik dalam mengkaji
segi bentuk atau struktur lahir wacana, potongan-potongan bahasa yang lebih
besar dari sebuah kalimat sebagai suatu kesatuan, selanjutnya
memperhatikan konteksnya.
Aspek gramatikal dalam pembelajaran menjadi pengembangan diri
dari kemampuan kebahasan. Hal tersebut terdapat
dalam Standar Kompetensi Menguasai
berbagai komponen kebahasaan dalam berbahasa baik lisan maupun tulis, dan Kompetensi Dasar yaitu mengidentifikasi makna konotatif dan denotatif,
gramatikal dan leksikal, kias dan lugas, umum dan khusus (Depdinas, 2007:270).
Analisis kohesi gramatikal dalam cerpen ini dapat menambah pemahaman
tentang keutuhan wacana serta rangkaian ujar, sebab analisis ini diarahkan ke
segi bentuk dan struktur lahiir wacana. Kajian Gramatikal
Terhadap Wacana cerpen juga Membina Kompetensi Berbahasa dan Bersastra
Indonesia di Tingkat SMA Kelas XII.
Berdasarkan latar belakang
tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam cerpen harian suara merdeka terdapat
wacana yang dapat diteliti melalui kajian semantik gramatikal. Karya yang
terbentuk cerpen lebih sering diteliti melalui kajian sastra. Karena itu
penelitian ini mencoba mengkaji sesuatu yang sedikit berbeda yaitu mengenai
kohesi gramatikal dalam cerpen harian suara merdeka.
Kohesi gramatikal dapat menciptakan keadaan, status
atau hal yang baru bagi pembaca wacana. Cerpan harian suara medeka memuat
wacana tentang kohesi gramatikal dan sebagai alternatif pembelajaran yang menjadi media
pembelajaran di SMA N 1 Bangsri Jepara kelas XII semester 1 dalam
upanya meningkatkan kemampuan kebahasaan peserta didik.
Dari
penjelasan Kompetensi Dasar dan Standar Kompentensi yang menjadi pembelajaran
di SMA, kohesi
gramatikal dalam cerpen harian suara merdeka yang akan diajarkan yaitu meningkatkan
kemampuan kebahasaan peserta didik agar mampu menggunakan kalimat secara semantik, maka
dari itu pembelajaran di SMA ada kaitannya dengan penggunaan aspek gramatikal dalam cerpen harian suara sebagai alternatif pembelajaran di SMA.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, penelitian ini mengambil judul Aspek Gramatikal dalam Cerpen
Harian Suara Merdeka dan Alternatif Pembelajaran di Kelas XII SMA N 1 Bangsri
Jepara.
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, masalah yang diangkat dalam penelitian adalah:
1.
Bagaimana aspek
gramatikal yang terdapat dalam cerpen
harian Suara Merdeka?
2.
Bagaimana alternatif
pembelarajan aspek gramatikal dalam cerpen
harian Suara Merdeka di SMA N 1 Bangsri, Jepara?
D.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan aspek gramatikal
yang terdapat dalam
cerpen harian Suara Merdeka.
2. Aspek gramatikal dalam cerpen harian Suara Merdeka dapat menjadi alternatif pembelajaran di SMA N 1 Bangsri, Jepara.
E.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan pembaca mengetahui
bagaimana perwujudan kohesi gramatikal dalam cerpen harian
suara merdeka.
2. Manfaat praktis
Praktis dalam penelitian ini adalah untuk
menambah pengetahuan tentang kohesi gramatikal dalam
cerpen harian suara merdeka pada pembaca, bermanfaat juga terhadap :
a.
Siswa
Bagi
siswa dapat memberikan masukan sehingga dapat menentukan langkah-langkah yang
perlu ditempuh sehingga ada upaya untuk memperbaiki.
b. Guru
Dapat
mengembangkan pengetahuan mengenai kohesi
gramatikal yang
tepat sehingga dapat melakukan tindakan dalam penelitian selanjutnya.
F.
Penegasan Istilah
Agar
tidak terjadi salah pengertian dari judul penelitian ini, maka perlu dijelaskan
dengan penegasan istilah berikut ini:
1. Gramatikal
Gramatikal
adalah segi bentuk atau struktur lahir wacana (Sumarlam,
1993:23).
2. Cerpen
Cerpen adalah adalah cerita atau parasi (bukan
analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar terjadi tetapi dapat
terjadi dimana saja dan kapan saja, serta relatif pendek) (Sumardjo dan Saini,
1997 : 37).
3.
Alternatif
Pembelajaran
Alternatif adalah pilihan
untuk menentukan sesuatu dalam dua kemungkinan (Depdiknas, 2005:47). Alternatif
juga merupakan salah satu yang dipilih di antara berbagai pilihan lainnya (Oemar Hamalik, 2008:57). Dan pembelajaran
merupakan proses atau cara guna menjadikan seseorang mau untuk melaksanakan
kegiatan belajar.
G. Landasan Teori
1.
Pengertian cerpen
Cerpen sesuai
namanya adalah cerita pendek. Poe (dalam Nurgiyantoro, 2007: 10) mengatakan
bahwa cerpen adalan sebuah cerita yang habis dibaca sekali duduk, kira-kira
berkisar antara setengah sampai dua jam, suatu hal yang kiranya tidak mungkin
dilakukan oleh sebuah novel. Hamper serupa pendapat Poe, menurut sumartjo
(2007: 202) cerpen adalah fiksi pendek yang habis dibaca sekali duduk. Cerita
pendek mempunyai arti, satu krisis, dan satu efek untuk pembacanya. Sementara
itu esten (2000: 12) berpendapat bahwa cerpen merupakan pengungkapan suatu
kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia. Di dalamnya tidak dituntut
terjadinya perubahan nasib dari perilaku-perilakunya, hanya suatu lintasan dari
secercah kehidupan manusia yang terjadi pada satu kesatuan waktu.
Cerpen
menunjukan pengalaman subjektif. Dalam membaca cerpen, kita seakan ikut terjun
dalam tokoh-tokohnya, merasakan, mengalami pengalaman-pengalamannya,
perbuatannya, pikirannya, dan juga keputusannya. Sifat fiktif naratif nenuntut
adanya kejadian dalam cerpen. Dan dlam cerpen biassnya terdapat dua atau tiga
tokoh yang penting saja. Konflik hanya satu dan dikembangkan menjadi kuat
sehingga menggerakan cerita.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa cerpen harus berupa cerita pendek yang bersifat
narasi (bukan argumentasu atau analisa), yang fiktif (tidak benar-benar
terjadi) serta relatif pendek. Dari cerita fiktif yang pendek berdasarkan
realitas tersebut hanya mengandung satu kejadian untuk satu efek atau kesan
pembacanya.
2.
Diksi dalam Cerpen
Sebagai
salah satu karya sastra, cerpen memiliki fungsi menghibur di samping isi
cerita. Bagaimanapun juga isi yang baik apabila dikemas dengan bahasa yang
kurang menarik akan membuat pembaca enggan untuk membacanya. jika pembaca sudah
enggan membaca, isi yang baik yang ingin disampaiakan pada pembaca dapat
tertangkap oleh pembaca. Oleh karena itu, keindahan bahasa harus diperhatikan
dalam penulisan cerpen.
Diksi digunakan
pengarang agar orang lain dapat memahami perasaan dan pikiran penutur melalui
kata-kata yang diungkapkannya, selain mendapat reaksi yang diharapkan oleh si
pendengar atau pembaca.
Dalam KBBI (2002
: 264) diksi diartikan sebagai pilihan kata yang tepat dan selaras dalam
penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu
seperti yang diharapkan. Dari pernyataan itu tampak bahwa penguasaan kata
seseorang akan mempengaruhi kegiatan berbahasanya, termasuk saat yang
bersangkutan membuat karangan.
Dalam
sebuah karya satra cerpen, pengarang berusaha mencurahkan perasaan dan isi
pikirannya dengan setepat-tepatnya sesuai dengan apa yang dialami hatinya.
Pengarang juga berusaha mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjelmakan
pengalaman jiwanya secara mendalam. Untuk itulah pengarang memilih kata-kata
yang tepat dan dipahami serta dapat mewakili jiwanya.
Untuk
mendayagunakan kata dapat ditempuh dengan tiga cara yaitu pengarang dapat
memilih kata untuk mengungkapkan gagasan atau hal-hal lain yang diamanatkan.
Pengarang mempunyai kemampuan untuk membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna
dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang
sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki oleh kelompok masyarakat pendengar,
menguasai perbendaharaan kata atau kosakata. Kosakata suatu bahasa adalah
keseluruhan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa (Keraf, 1999: 24).
3.
Wacana
Sudjiman (1993:
23-32) mengungkapkan bahwa dalam memilih sesuatu kata yang digunakan dalam karya
sastra, penyair atau pengarang dapat memanfaatkan beberapa hal, yaitu kohesi.
Dalam hubungan penggunaan kohesi, selain teks dalam konsep pengertian dalam
bahasa tulis, kohesi juga akan berhubungan dengan konsep wacana yaitu sebagai
kesinambungan cerita dengan bahasa yang mudah dan kesinambungan ini ditunjang
oleh jalinan informasi.
Wacana menurut
Willis Edmodson (dalam Sumarlan, 2003: 5) adalah suatu peristiwa yang
terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku bahasa atau yang lainnya.
Tampak di dalam definisi itu bahwa Edmodson menekankan adanya sifat keteraturan
peristiwa yang dinyatakan dengan bahasa di dalam wacana. Lebih lanjut, ia
membedakan antara wacana (discourse) dengan mengatakan teks adalah suatu
rangkaian ungkapan bahasa yang berstruktur yang membentuk satu kesatuan. Berdasarkan
batasan tersebut, secara ringkas dapat dikatakan bahwa perbedaan pokok antara
teks dengan wacana adalah, teks merupakan suatu rangkaian pernyataan bahasa
yang terstruktur, sedangkan wacana adalah suatu peristiwa yang terstruktur yang
diungkapkan melalui bahasa.
Para
pakar bahasa telah memperkenalkan beberapa definisi wacana, seperti berikut:
a.
Harimurti dalam (Sumarlan, 2003: 3)
Wacana merupakan
satuan bahasa yang lengkap, yaitu dalam hierarki gramatikal yaitu satuan
gramatikal tertinggi ataupun terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk
karangan yang utuh seperti novel, buku seri ensiklopedia dan sebagainya, paragraf,
kalimat atau kalimat yang membawa amanat yang lengkap.
b.
Anton M.Moeliono (2000: 407)
Wacana adalah kalimat yang berkaitan sehingga
terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat itu.
Menurut
Kridalaksana dalam (Rustono, 1999: 47) wacana merupakan satuan bahasa yang
paling lengkap unsurnya.
c.
Edmodson dalam (Rustono, 1999: 47)
Wacana adalah
suatu peristiwa yang berstruktur yang diwujudkan dalam perilaku linguistik atau
lainnya.
Setelah
dilihat beberapa uraian tentang devinisi mengenai wacana yang diambil dari
berbagai sumber, dapat dilihat adanya persamaan dan juga perbedaan pendapat
mengenai devinisi wacana yang diperoleh dari ahli-ahli linguistik.
Disamping itu juga, wacana letaknya
lebih tinggi daripada kalimat pada skala tata tingkat tatabahasa dan mempunyai
keteraturan fikiran
logik (koherensi) dan juga tautan (kohesi) dalam strukturnya. Wacana dicirikan
oleh kesinambungan informasi. Makna kesinambungan di sini diartikan sebagai
kesatuan makna.
Unsur-unsur penting dalam wacana adalah seperti,
satuan bahasa, terlengkap, mengatasi kalimat atau klausa, teratur, tersusun
rapi, berkesinambungan, kohesi, lisan atau tulisan awal dan akhirnya nyata.
4.
Kohesi
Kohesi yaitu
cara bagaimana cara komponen yang satu berhuungan dengan komponen yang lain.
Komponen yang dimaksud bias berupa kata dengan kata, kalimat satu dengan
kalimat lain berdasarkan sistem bahasa itu. Sedangkan menurut lubis (1991: 28)
kohesi adalah relasi yang erat yang harus ada pada sebuah wacana yang baik.
Adapun wujud relasi itu macamnya referensi, substitusi, ellipsis, konjungsi,
dan leksikal
Kohesi
merupakan konsep semantik yang juga merujuk pada perkataan kebahasaan yang
didapati pada suatu ujaran yang membentuk wacana. Menurut Halliday dan Hasan
(1976: 5) bahwa kohesi merupakan satu set kemungkinan yang terdapat dalam
bahasa untuk menjadikan suatu ‘teks’ itu memiliki kesatuan. Hal ini berarti
bahwa hubungan makna baik makna leksikal maupun gramatikalperlu diwujudkan
secara terpadu dalam kesatuan yang membentuk teks. Menuut Halliday dan Hasan
(dalam Sumarlan, 2003: 4) telah mencoba melihat kohesi makna itu dari dua
sudut, yaitu kohesi gramatikal dan leksikal. Kedua gramatikal ini terdapat
dalam suatu kesatuan teks. Kohesi ini juga memperlihatkan jalinan ujaran dalam
bentuk kalimat untuk membentuk suatu teks atau konteks dengan cara
menghubungkan makna yang terkandung di dalam unsur.
5.
Aspek Gramatikal
Kohesi gramatikal menurut Halliday dah Hassan dalam
(Sumarlan, 1993: 23) adalah segi bentuk atau struktur lahir wacana.
lebih rinci, aspek gramatikal meliputi:
a. Pengacuan
(referensi)
Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis
kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan
lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan
tempatnya, apakah acuan itu berada di dalam atau di luar teks, maka pengacuan
dibedakan atas dua jenis:
1)
Pengacuan endofora apabila acuannya
(satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana.
2)
Pengacuan eksofora apabila acuannya
berada atau terdapat di luar teks wacana.
Jenis
kohesi gramatikal, berdasarkan pengacuannya diklasifikasikan menjadi tiga:
1) Pengacuan
persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronominal
persona (kata ganti orang), yang meliputi persona pertama (persona I), kedua
(persona II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak.
Pada tuturan tersebut, pronomina I tunggal bentuk
bebas saya mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan (teks) yang
disebut kemudian, yaitu Basuki (orang yang menuturkan tuturan itu). Dengan
cirri-ciri seperti yang disebutkan itu maka saya (I) merupakan jenis kohesi
gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks), yang
bersifat kataforis (karena acuannya disebutkan kemudian atau antesedennya
berada di sebelah kanan) melalui satuan lingual berupa pronominal persona I
tunggal bentuk bebas. Sementara itu, -ku
pada bendaharaku pada tuturan yng
sama mengacu pada pak RT yang telah
disebutkan terdahulu atau yang antesedennya berada di sebelah kiri.
2) Pengacuan
demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat
dibedakan memjadi dua, yaitu pronominal demonstratif waktu (temporal) dan
pronominal demonstratif tempat (lokasional). Pronominal demonstratif waktu ada
yang mengacu pada waktu kini (seperti kini
dan sekarang) dan lampau (seperti kemarin dan dulu). Sementara itu, pengacuan demonstratif tempat ada yang
mengacu pada tempat atau lokasi yang
dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu).
3) Pengacuan
komperatif (perbandingan)
Pengacuan komperatif (perbandingan) ialah salah satu
jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang
memiliki kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, perilaku dan
sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan untuk mrmbandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan,
tidak berbeda dengan, sama seperti, dan persis
sama dengan.
b. Penyulihan
(Substitusi)
Penyulihan atau substitusi adalah salah satu jenis
kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan
satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari
segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal,
verbal, frasal dan klausal.
1) Substitusi
nominal
Substitusi nominal adalah penggantian satuan
lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang
juga berkategori nomina.
2) Substitusi
verbal
Substitusi verbal adalah penggantian satuan
lingual yang berkategori verbal (kata kerja) dengan satuan lingual lain yang
juga berkategori verbal.
3) Substitusi
frasal
Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual
yang berupa kata atau frasa dengan
satuan lingual lain yang berupa frasa.
Substitusi frasal ini misalnya pada
contih berikut:
Aku tidak meneruskan pertanyaanku. Ibuku juga tidak
berbicara. Dua orang sama-sama diam.
Tampak pada contoh di atas, kata aku pada kalimat pertama dan ibuku pada kalimat kedua disubstitusikan
dengan frasa dua orang.
4)
Substitusi klausal
Substitusi
klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau
kalimat dengan satuan klausa lainnya yang berupa kata atau frasa.
c.
Pelesapan (Elipsis)
Pelepasan atau elipsis adalah salah satu jenis kohesi gramatikal
yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah
disebutkan sebelumnya. Unsur yang dilesapkan itu bisa berupa kata, frasa,
klausa atau kalimat. Adapun fungsi
pelesapan dalam wacana antara lain ialaha untuk (1) menghasilkan kalimat yang
efektif (untuk efektivitas kalimat), (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai
ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi
pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang
tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan (5) untuk kepraktisan berbahasa
terutama dalam berkomunikasi secara lisan.
d.
Perangkaian (Konjungsi)
Perangkaian atau konjungsi adalah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan
unsur yang lain dalam wacana. Unsur
yang dirangkaikan dapat berupa kata, frasa atau klausa, kalimat, paragraf.
Dari segi maknanya
pun, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna. Diantaranya
adalah sebab-akibat, pertentangan, kelebihan (eksesif), perkecualian
(ekseptif), konsesif, tujuan, penambahan (aditif), pilihan (alternatif),
harapan (optatif), urutan (sekuensial), perlawanan, waktu, syarat, cara, dan
makna yang lainnya.
6.
Alternatif Pembelajaran
Alternatif adalah
pilihan untuk menentukan sesuatu dalam dua kemungkinan (Depdiknas, 2005:47).
Alternatif juga merupakan salah satu yang dipilih diantara berbagai pilihan
lainnya (Oemar Hamalik, 2008:57). Dan pembelajaran
merupakan proses atau cara guna menjadikan seseorang untuk melaksanakan kegiatan belajar
(Depdikbud, 2005:30). Dapat disimpulkan bahwa alternatif pembelajaran adalah
pilihan diantara berbagai pilihan lainnya untuk menentukan cara atau proses
guna melaksanakan kegiatan belajar.
Gramatikal pada umumnya didiajarkan dalam
proses pembelajaran di jenjang pendidikan SMA kelas XII semester satu.
Pembelajaran kohesi gramatikal di SMA sebenarnya menjadi salah satu materi
pembelajaran yang sangat menarik, tepapi terkadang dalam menganalisis kohesi
gramatikal, siswa masih sulit untuk memahami dan menafsirkan aspek-aspek yang
terkandung. Oleh karena itu, diperlukan beberapa alternatif atau cara dalam
memahami dan menafsirkan kohesi gramatikal di kalangan siswa SMA.
Sebagai alternatif
pembelajaran yang menciptakan
pengembangan diri dari kemampuan kebahasan, Hal tersebut terdapat
dalam Standar Kompetensi Menguasai berbagai
komponen kebahasaan dalam berbahasa baik lisan maupun tulis, dan Kompetensi Dasar yaitu mengidentifikasi
makna konotatif dan denotative, gramatikal dan leksikal, kias dan lugas, umum
dan khusus.
Gramatikal dalam cerpen harian suara merdeka
dan sebagai alternatif pembelajaran terdapat beberapa hal sebagai berikut:
1. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar
(KD)
Sesuai Standar Isi Bahasa
Indonesia di SMA, materi
tentang kohesi gramatikal dapat diajarkan di kelas XII
semester satu. Hal itu sebagaimana disebutkan dengan Standar Kompetensi yang
berbunyi Menguasai berbagai komponen kebahasaan dalam berbahasa
lisan dan tulis. Dan Kompetensi Dasar yang berbunyi mengidentifikasi
makna konotatif dan denotatif, gramatikal dan leksikal, kias dan lugas, umum
dan khusus. Dari SK
dan KD tersebut, benarlah bahwa kohesi gramatikal dapat diajarkan sebagai
materi pembelajaran di SMA.
2. Indikator
pembelajaran
Indikator pembelajaran merupakan
perilaku yang dapat diukur untuk
menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan
penilaian mata pelajaran. Indikator dirumuskan dengan menggunakan kata kerja
operasional yang dapat diamati dan diukur yang mencakup pengetahuan, sikap, dan
keterampilan.
3. Materi
pembelajaran
Materi pembelajaran
merupakan seperangkat informasi yang harus diserap peserta didik melalui proses
pembelajaran. Dalam hal ini, peserta didik harus benar-benar merasakan manfaat
materi pembelajaran, materi itu setelah mempelajarinya. Secara umum, sifat
materi pembelajaran diantaranya meliputi fakta, konsep, prinsip, dan
keterampilan (Iskandarwassid dan Sunandar, 2009:171).
4. Media pembelajaran
Media pembelajaran diartikan
sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi
pelajaran, merangsang, pikiran, perasaan, perhatian, dan kemampuan peserta
didik sehingga dapat mendorong keberhasilan proses belajar mengajar (Azhar,
2002:80-91). Adapun media dalam pembelajaran sebagai berikut :
a.
Media
berbasis manusia merupakan media tertua yang digunakan untuk mengirimkan dan
mengkomunikasikan pesan atau informasi. Tujuannya untuk mengubah sikap atau
ingin secara langsung terlibat dengan pemantauan pembelajaran peserta didik.
b.
Media
berbasis cetakan merupakan media pembelajaran yang
berupaya untuk membuat materi dengan media berbasis teks menjadi interaktif.
c.
Media
berbasis visual memegang peran yang sangat penting dalam proses belajar. Media
visual dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan. Visual dapat
menumbuhkan minat peserta didik dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan
dunia nyata. Agar menjadi efektif, visual sebaiknya di tempatkan pada konteks
yang bermakna dan peserta didik harus berinteraksi dengan visual itu untuk
meyakinkan terjadinya proses informasi.
d.
Media
berbasis audio-visual, media visual yang menggabungkan penggunaan suara
memerlukan pekerjaan tambahan untuk memproduksinya. Pada awal pelajaran
media harus mempertunjukkan sesuatu yang dapat menarik perhatian semua peserta
didik.
5. Metode Pembelajaran
Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Iskandarwassid dan
Sunendar, 2009:56). Perwujudannya dalam proses pembelajaran sebagai alternatif
pembelajarannya di SMA. Adapun metode pembelajaran yang menjadi alternatif
pembelajaran di SMA yaitu menggunakan metode ceramah untuk pendamping metode tanya
jawab untuk menggali kemampuan siswa, sejauh mana peserta didik mengetahui
tentang kohesi gramatikal dan memberikan penugasan kepada peserta
didik sebagai hasil pembelajaran, apakah peserta didik sudah memahami atau
mengaplikasikannya.
H. Metode Penelitian
Adalah cara kerja ilmiah dalam melakukan setiap penelitian dengan
asumsi-asumsi dasar yang dijadikan pegangan dalam memandang suatu objek (Semi,
1999: 10).
Metode penelitian diperlukan untuk mempermudah pencapaian data
sehingga pemilihan metode harus memperhatikan kesesuaian dengan objek tujuan
penelitian yang akan dicapai. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan
metode deskriptif dengan pendekatan objektif.
1.
Metode kepustakaan
Dalam
penelitian ini objek penelitian berupa cerita rekaan, maka penelitian ini
memilih metode kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti
atau di ruang perpustakaan, dimana peneliti memperoleh data dan informasi
tentang objek telitiannya lewat buku-buku atau alat-alat audiovisual lainnya
(Semi, 1993, 71).
Metode
ini digunakan untuk mencari teori, konsep-konsep yang dapat dijadikan landasan
teori atau member teori-teori baru dan data-data yang relevan dengan penelitian
(Semi, 1993: 8).
2.
Metode deskriptif
Metode deskriptif
merupakan metode yang bertujuan melukiskan keadaan objek atau peristiwanya
dengan maksud untuk mengambil kesimpulan secara umum dari bahan-bahan tentang
objek persoalan (Arikunto, 2005: 33).
Penelitian
deskriptif dilakukan oleh peneliti untuk
informasi atau data tentang fenomena yang diteliti, misalnya kondisi sesuatu
atau kejadian, atau faktir-faktor penyebab terjadinya sesuatu.
Penelitian
kualitatif bersifat menghasailkan data deskriptif berupa kata-kata tulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati (Moloeng, 2007: 4).
3.
Pendekatan objektif
Menurut
Semi (1993: 67) pendekatan objektif (struktural) adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi
dasar bahwa karya sastra sebagai kerja kreatif memiliki otonom yang penuh yang
harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri terlepes dari hal yang
lain. Bahan utama penelitian objektif adalah karya (teks).
4.
Data dan sumber data
Data
adalah semua keterangan menganai variabel yang diteliti (Poerwadarminta, 1984:
18). Data dalam penelitian ini adalah penggunaan gramatikal dalam cerpen harian
suara merdeka.
Sumber
data adalah bahan atau segala keterangan mengenai variabel yang diteliti.
Sumber data pada hakikatnya ialah objek sasaran penelitian beserta dengan
konteksnya (Poerwadarminta, 1984: 18). Sumber data dalam penelitian ini adalah
cerpen-cerpen harian suara merdeka, sedangkan objek sasaran penelitian ini
adalah kohesi gramatikal dalam kumpulan cerpen tersebut.
5.
Objek penelitian
a.
Populasi
Populasi
adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang akan meneliti semua
elemen yang berada dalam wilayah penelitian, maka penelitian itu disebut
penelitian populoasi (Arikunto, 1993: 193). Populasi dalam penelitian ini
adalah cerpen-cerpen harian suara merdeka. Adapun sembilan cerpen tersebut
ialah Kisah
Seruas Jalan, Purnama Tenggelam di Rajasthan, Kupu-kupu dan
Desing Peluru, Rusuk
Seratus Tahun, Pertarungan Terakhir, Lantai
9, Malam-malam, Sum, Siapakah yang Menyuruh Kita Memukul Lesung?, dan Getir Pesisir.
b.
Sampel
Sampel
adalah sumber data yang akan diteliti (Sudaryanto, 1993: 34). Sampel merupakan
contoh, monster, atau wakil populasi.
Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini adalah menggunakan teknik sampling
menggunakan teknik nonrandom. Teknik nonrandom sampling yaitu semua individu
dalam populasi diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel
(Sutrisno Hadi, 1982: 75).
Jumlah
populasi dalam penelitian ini adalah cerpen-cerpen harian dalam surat kabar
Suara Merdeka, maka penulis mengambil beberapa dari populasi tersebut untuk
dijadikan sampel yaitu sembilan cerpen harian Suara merdeka yang terbit
mei-juni 2011.
c.
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan
data adalah langkah yang amat penting dalam penelitian. Data yang terkumpul
akan digunakan sebagai bahan analisis. Oleh karena itu, pengumpulan data harus
dilakukan dengan sistematis, terarah dan sesuai dengan masalah penelitian.
Pengumpulan
data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode simak
dengan menggunakan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa
teknik catat. Metode simak adalah penyadiaan data yang dilakukan dengan cara
menyimak data penggunaan bahasa. Metode simak di wujudkan dengan teknik sadap
yaitu penyadapan pembicaraan seseorang atau beberapa orang untuk mendapatkan
data, kemudian melakukan teknik catat yaitu teknik penyediaan data yang
dilakukan dengan jalan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan
dengan klasifikasi (sudaryanto, 1993: 133-135).
d. Metode
dan Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, peneliti
selanjutnya melakukan analisis data. Data yang terkumpul dianalisis dengan
metode padan yang merupakan metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan
tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan, dan metode agih yakni
metode yang memperhatikan struktur internal bahasa serta hubungan antarunsurnya
sudaryanto (1993: 21-31).
Metode padan ada dua teknik yaitu teknik
dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang berupa teknik pilah unsur penentu
atau PUP. Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipisah-pisahkan menjadi
beberapa unsur maka daya pilah itu dapat disebut daya pilah referensial, ortografis, dan pragmatis yang pemisahannya sesuai
dengan sifat unsur penentu masing-masing. Sedangkan teknik lanjutan berupa
teknik HBS yaitu teknik hubung banding menyamakan, HBB yaitu teknik hubung
banding merperbedakan, dan HBSP yaitu teknik hubung banding menyamakan hal
pokok (sudaryanto: 1993: 227).
Metode agih juga sama, ada dua teknik
yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang berupa teknik bagi
unsur langsung atau teknik BUL. Disebut demikian karena cara yang digunakan
pada awal kerja analisis adalah membagi satuan lingual data menjadi beberapa
unsur. Sedangkan teknik lanjutan berupa teknik lesap dan teknik ganti. Teknik
lesap dilaksanakan dengan melepaskan, menghilangkan, menghapuskan atau
mengurangi unsur tertentu satuan lingual yang bersangkutan, dan teknik ganti
dilaksanakan dengan menggantikan unsur tertentu satuan lingual yang
bersangkutan dengan unsur tertentu yang lain di luar satuan lingual yang
bersangkutan.
e. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Setiap data yang telah dianalisis menghasilkan
kaidah yang harus ditulis untuk dimasyarakatkan. Cara yang dikenal sebagai
metode penyajian kaidah ada dua macam bersifat formal dan informal (Sudaryanto, 1993:144). Teknik pemaparan analisis secara informal
adalah perumusan dengan kata-kata, sedangkan pemaparan hasil analisis secara
formal adalah perumusan dengan tanda atau lambang-lambang.
I. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika penulisan digunakan untuk mempermudah pembaca
dalam memahami skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini, sebagai
berikut :
Bab
I pendahuluan, pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sitematika penulisan skripsi.
Bab
II landasan teori, pada bab ini diuraikan pengertian cerpen, diksi dalam
cerpen, wacana, kohesi, dan aspek gramatikal.
Bab
III analisis aspek gramatikal dalam cerpen harian Suara Merdeka sebagai alternative pembelajaran di SMA N I Bangsri
Jepara.
Bab IV Penutup yang berisi
simpulan dan saran.
DAFTAR
PUSTAKA
Anton,
Moeliono Dkk. 2000. “Tata Bahasa Buku Bahasa Indonesia” dalam Analisis Wacana: Teori dan Praktik.
Surakarta: Pustaka Cakra.
Arikunto,
Suharmini. 1998. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Arsyad,
Azhar. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Djiwandono, Soenardi,
1989. Tata bahasa Acuan Bahasa Madura. Malang: Lemlit IKIP Malang.
Esten, Mursal. 2000. Kesusastraan
(Pengantar Teori dan Sejarah). Bandung: Angkasa.
Hamlik,
Oemar. 2008. Kurikulum Dan Pembelajaran.
Jakarta: Bumi Aksara.
Moleong,
Lexy. J. 2000. Metodologi Penelitian
Kulitatif. Yogyakarta: PT. Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Poerwadarminta.1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
PN Balai Pustaka.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Sudaryanto. 1993. Metode
dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
Sumardjo, Jacob
dan Saini. 1997. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
.2007. Upaya Peningkatan kemampuan Menulis Cerpen dengan Metode Audio Visual Siswa Kelas X SMA. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Sumarlam,
Dkk. 2008. Analisis Wacana Iklan Lagu
Puisi Cerpen Novel Drama. Surakarta: buku
Katta.
.2003. Teori dan Praktik analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakara.
Wibowo, Wahyu. 2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia.
No comments:
Post a Comment